Monday 20 April 2015

Teori Strukturalisme Levi Strauss

Oleh: Akhmad Fatoni

Menurut Mukarovsky (dalam Wellek 1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori seperti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmiah yang relatif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas sebagai sudut pandang epistimologi, sebagai sistem tertentu dengan mekanisme antarhubungannya.
Secara etimologis struktur menurut Teeuw (dalam Ratna, 2006: 88) berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Asal-usulnya dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi berbicara mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan.
Menurut Junus (dalam Endraswara, 2004: 49) strukturalis memang sering dipahami sebagai bentuk. Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya. Di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukkan oleh mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem (Ratna, 2006: 91).
Para ahli antropologi melihat adanya hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Baik hubungan yang timbal balik, saling memengaruhi, atau pun hubungan yang lebih menentukan yang bersifat satu arah: kebudayaan memengaruhi bahasa, atau sebaliknya bahasa memengaruhi kebudayaan. (Ahimsa, 2001: 23). Oleh karena itu, pemahaman dasar akan strukturalisme mengacu pada model penelitian linguistik. Karena dalam strukturalisme setiap benda yang berbentuk itu pasti memiliki struktur. Meskipun demikian Levi-Strauss mengingatkan bahwa dalam memahami korelasi antara bahasa dan kebudayaan kita harus berhati-hati dan sangat perlu memperhatikan tingkat atau level untuk mencari korelasi tersebut dan mengorelasikannya. Korelasinya adalah cara suatu masyarakat mengekspreksikan pandangan mereka tentang waktu pada tataran bahasa dan kebudayaan (Ahimsa Putra, 2001: 26).
Namun dalam makalah ini, lebih dikhususkan kepada teori strukturalisme Levi Strauss. Levi Strauss dalam dunia akademik lebih dikenal sebagai ahli antropologi. Akan tetapi, pemikiran-pemikirannya tidak hanya berbicara tentang antropologi. Oleh karena itulah, Levi Strauss mendapatkan tempat terhormat dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan lainnya seperti sastra, filsafat, sosiologi, dan telaah seni (Ahimsa-Putra, 2006: 3).
Selanjutnya, Ahimsa Putra (2001: 31) mengatakan bahwa Strukturalisme Levi-Strauss secara emplisit mengangap teks naratif, seperti misalnya mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah suatu kesatuan yang bermakna (meaningful whole), yang dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pikiran seorang pengarang, seperti halnya kalimat memperlihatkan atau mengejahwantahkan pemikiran seorang pembicara. Makna teks naratif tersebut lebih dari makna yang ditangkap dari kalimat-kalimat tunggal yang membentuk teks tersebut, sebab kita bisa saja memahami makna kalimat-kalimat ini, tetapi tidak dapat menangkap makna keseluruhan teks. Jadi, apa yang diekspresikan atau ditampilkan oleh sebuah teks adalah lebih dari yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat yang membentuk teks tersebut. Seperti halnya makna sebuah kalimat adalah lebih dari sekadar makna yang diekspresikan kata-kata yang membantuk kalimat tersebut.
Kedua, teks tersebut memberikan bukti bahwa teks diartikulasikan dari bagian-bagian, sebagaimana halnya kalimat-kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Sebuah teks adalah kumpulan peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang bersama-sama membentuk sebuah cerita serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Strukturalisme Levi-Strauss secara emplisit menganut pandangan bahwa sebuah cerita (naratif), seperti halnya sebuah kalimat, maknanya merupakan sebuah hasil dari suatu proses artikulasi yang seperti itu (Pettit, 1977). Oleh karena itu, Hawkes menyatakan (dalam Sudikan, 2007: 57) bahwa kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak memunyai makna dengan sendirinya, melainkan ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu.
Konsep penting dalam strukturalisme Levi-Strauss yaitu struktur dan transformasi. Dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan struktur batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Sedangkan kalau struktrur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari (Ahimsa, 2001: 61-62).
Peneliti memilih struktural Levi-Strauss karena struktural Levi-Strauss berbeda dengan strukturalisme-strukturalisme yang ada. Strukturalisme Levi-Strauss berbeda dengan strukturalisme Emile Durkheim, A.R. Radcliff-Brouwn, Talcott Parsons dan Robert Merton yang dikenal dengan aliran Fungsionalisme, juga berbeda dengan struktural Dependensi atau Ketergantungan struktural, yang lebih kental warna marxisnya dan berbeda pula dengan struktural yang dikembangkan Jean Piaget, meskipun ada beberapa kesamaan (Ahimsa, 2001: 66).
Yang membedakan semua itu karena Struktural Levi-Strauss memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tunggal, pakaian dan sebagainya. Secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane, 1970: 13-14), atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh kerena itu, terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut. Adanya keterulangan dan kekertataan ini peneliti atau pengamat budaya melakukan abstraksi atas gejala-gejala dan merumuskan aturan-aturan abstrak di baliknya, yang disebut sebagai bahasa atau kode (code). Kode di sini diartikan sebagai semua jenis sistem komunikasi yang dimanfaatkan secara sosial, oleh banyak orang (Lane, 1970:14, dalam Ahimsa-Putra, 2001).
Kedua, para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis-sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau ‘menempelkan’ suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Kemampuan dasar ini (inherent capasity) ini berdesain sedemikian rupa sehingga berbagai macam kemungkinan penstrukturan tidak lantas menjadi tanpa batas (Lane, 1970:4, dalam Ahimsa-Putra, 2001). Gejala dipandang memiliki struktur sendiri-sendiri, yang disebut sebagai strukture, struktur dalam, yang merupakan struktur dari struktur permukaan, atau struktur dari struktur. Struktur permukaan mungkin disadari oleh pelakunya tetapi struktur dalam berada dalam tatanan nirsadar, seperti yang ada pada bahasa. Jadi struktur ini bukanlah apa yang kita lihat dan dengar dalam kenyataan, akan tetapi struktur tersebut dapat kita ketahui, kita abstraksikan, dari berbagai gejala yang nyata (Lane, 1970: 50, dalam Ahimsa-Putra, 2001).
Ketiga, mengikuti pandangan dari Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu. Secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Sehingga dalam menelaah fenomena harus mengetahui terlebih dahulu relasi sinkronis dulu baru diakronisnya. Dan tidak mengaju pada hubungan sebab-akibat. Karena sebab-akibat merupakan relasi diakronis, melainkan mengacu pada hukum-hukum transformasi. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi itu dapat dijelaskan dalam membandingkan pola-pola relasi yang ada pada gejala-gejala yang terpisah dalam ruang dan waktu, misalnya kita akan menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan pada konfigurasi struktural. Dan dalam strukturalis hukum transformasi dianggap sebagai alih-rupa (transformasi) dari konfigurasi struktural yang lain. Hasil pengamatan yang dilakukan berkali-kali kemudian akan sampai pada kesimpulan bahwa suatu struktur tertentu selalu beralih rupa dengan cara tertentu (Ahimsa-Putra, 2001).
Keempat, relasi-relasi yang berada dalam struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary apposition) yang paling tidak punya dua pengertian. Pertama, oposisi binair yang bersifat ekslusif seperti misalnya pada ‘p’ dan ‘q’ (bukan ‘p’). Hak ini misalnya pada kategori menikah dan tidak menikah. Kedua, oposisi binair yang tidak ekslusif, yang kita temukan dalam berbagai kebudayan misalnya seperti oposisi, air-api, gagak-elang, siang-malam, matahari-rembulan dan sebagainya (Ahimsa, 2001: 67-70).
Keempat asumsi dasar itu, telah ditetapkan Levi-Straus dalam tetraloginya tentang orang Indian di benua Amerika. Lebih lanjut dijelaskan orang Indian hidupnya sederhana, yang bisa dikatakan pada dasar peradapan manusia. Logika itu pada dasarnya tidak berbeda dengan orang-orang “modern” yang hidup di kota-kota besar seperti New York, Paris, Amsterdam atau London, yang merasa dirinya sebagai orang yang beradap. Dari penelitian itulah ditentukan sintesa cerita aneh, unik, menyesakkan, dan mencengangkan, yang masih hidup maupun telah mati, yang berasal dari orang-orang Indian tersebut. Yang hal itu akhirnya disebut oleh Levi-Strauss dengan logika dari the science of the concrete atau totemisme (Ahimsa, 2001: 71).
Berdasarkan atas tersebut, Ahimsa-Putra (2006: 93) menyatakan bahwa cara kerja (analisis) teori strukturalisme Levi Strauss meliputi: pertama, mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, sehingga unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dikombinasikan untuk menentukan makna. Kedua, mitos dipandang sebagai bahasa, akan tetapi tidak semua bisa diterjemahkan sebagai bahasa hanya ciri-ciri mitos yang sesuai dengan kaidah bahasa saja. Ketiga, ciri-ciri mitos tersebut berada pada tingkatan di atas bahasa, karena sifatnya lebih kompleks, rumit daripada cirri-ciri bahasa ataupun ciri yang ada dalam suatu kebahasaan.
Hal itulah akhirnya ang membuat gejala bahasa dalam kacamata Levi Strauss berbeda dengan bahasa dalam kacamata para linguis. Perbedaan tersebut terletak pada cara analisis Levi Stauss, yakni menganalisis unsur terkecil dari bahasa mitos, mytheme. Secara terperinci susunannya yakni dimulai dari mencari mytheme (miteme), lalu menyusunnya secara sintagmatis dan paradigmatic atau yang sering disebut sebagai oposisi binar (binary opposition) (Ahimsa-Putra, 2006: 95-96).
Setelah mitos tersebut sudah disusun dan membentuk oposisi binner, maka peneliti baru menerjemahkan dari susunan mitos tersebut untuk diketahui maknanya. Susunan tersebut, telah membentuk makna baru yang oleh Levi Strauss disebut dengan korpus mitos. Pemaknaan atas korpus mitos itulah yang merupakan titik akhir dari cara kerja teori strukturalisme Levi Strauss. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori Strukturalisme Levi Strauss merupakan pemaknaan atas beberapa mitos yang saling berhubungan.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Henddy Shri. 2001. Struktural Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.Yogyakarta: Galang Press
Endraswara, Suwardi. 2004. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Ratna, Nyoman Kunta. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
__________________. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif (edisi revisi). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

0 comments:

Post a Comment