Oleh: Akhmad
Fatoni
(Dimuat di Harian Radar Mojokerto)
Saya dikirimi seorang teman sebuah pesan. Saya menduga, kalau ia membaca tulisan saya yang menyoal kemungkinan, Minggu lalu. Pesan itu berisi tentang kemungkinan sampai kapan ia bertahan di tempat yang ditumpangi untuk memenuhi segala kebutuhannya? Saya tertawa sendiri
membaca pesan itu. Mungkin ia khawatir
kalau suatu ketika
didampar seperti rekan-rekannya yang lain.
Sebetulnya, pertanyaan itu tak perlu saya
jawab. Tapi ya seperti biasa, saya pasti menyambar dengan petuah ini dan itu. Sebelumnya, ia sudah sering bercerita tentang kondisi tubuhnya yang
lemah, membuat ia sering sakit-sakitan. Mungkin hal itulah
yang mengakibatkan orang tuanya mendoktrin, bahwa ia hanya bisa menempati
posisinya saat ini.
Begitulah kiranya hidup ini, tidak hanya teman
saya itu, semua orang pun akan selalu menghadapi masalah, begitu juga saya.
Namun bagaimana masalah itu kita tanggapi untuk dijadikan suatu pemantik agar
kita menjadi semakin mawas diri, bukan malah menggerutu sehingga membuat hidup
makin menyesakkan.
Bersikap seperti itu memang berat, karena kita
dituntut agar bisa menarik sudut pandang subjektif, bukan objektif. Memang, pola pikir dengan pijakan objektif itu digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah (menarik diri
dari masalah), sedangkan bila kita pada posisi tertimpa masalah, maka harus bisa menggunakan pola pikir subjektif untuk membawa kita di luar masalah (objektif).
Seharusnya,
kita memiliki waktu untuk sejenak keluar dari rutinitas. Tidak perlu waktu yang
lama, setidaknya ada waktu 1 jam untuk merenung. Memikirkan apa saja yang kita
perbuat (pola pikir subjektif) selama seharian. Selanjutnya, kita analisis
berapa prosentase baik dan buruknya (pola pikir objektif), sehingga kita bisa
belajar dari apa yang terjadi. Bila sudah seperti itu, maka kita akan
mendapatkan pola pikir bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam
kehidupan kita itu berawal dari diri kita sendiri, bukan orang lain.
Namun dari
pertanyaan teman saya itu, saya merasa beruntung sebab saya lebih berani
menentang keadaan. Keadaan yang mungkin jika tidak ditentang akan menjadikan
saya semakin lemah dan takut bertindak. Setidaknya, saya akan menularkan virus
“penentang” keadaan untuk masa depan yang lebih baik. Ya, keberanian adalah
modal utama, selain kepercayaan. Sebab saya percaya di balik kesulitan ada
kemudahan. Setidaknya hal itu telah dibuktikan oleh Chairul Tanjung—pemilik
Group TransCorps (TransTV dan Trans7), selain itu juga pemilik Bank Mega—yang
berani menjadi “penentang”, sehingga menempatkan dirinya pada posisi pengusaha sukses.
Seandainya ia tidak berani menolak uang saku dari orang tuanya saat ia masih
kuliah di UI, mungkin saat ini ia tidak akan bisa berada pada jajaran orang
terkaya di Indonesia. Untuk mengikuti jejaknya, saya akan mengutip sebuah
artikel di harian Batam Pos yang ditulis Hasan Asphani, Kamis, 19 Maret 2009, ia
mengutip sebuah laporan yang berisi pendapat Chairul Tanjung:
- Kalau mau memulai bisnis mulailah dari yang
dekat, lihat dulu apa yang ada di sekitar kita. Think entrepreneurship!
- Kalau tidak punya modal, kita harus kreatif.
You have to think, you have to
create!
- Mulailah dari lingkungan yang terkecil dan
jangan pilih-pilih. Kesulitan justru membuat kita punya alasan untuk
mengubah mind set!
- Jangan mau langsung dapat hasil besar. Kalau
mau naik ke puncak harus naik tangga dari awal.
- Gagal adalah sesuatu yang biasa. Justru
karena ada kegagalan kita bertambah pintar.
Setidaknya itulah
ilmu yang ingin ditularkan Chairul Tanjung pada kita agar tidak terbelenggu
oleh keadaan dan selalu diliputi ketakutan-ketakutan. Sebab Tuhan sudah
berkata, bahwa ia tidak akan mengubah nasib hamba-Nya, bila ia sendiri tidak
ingin mengubahnya.*
Email:
fatoni.akhmad@gmail.com
0 comments:
Post a Comment