Monday 20 April 2015

Masalah


Oleh: Akhmad Fatoni
 (Dimuat di Harian Radar Mojokerto)


Ilustrasi Karya Dewi Nur Aprilia



Saya dikirimi seorang teman sebuah pesan. Saya menduga, kalau ia membaca tulisan saya yang menyoal kemungkinan, Minggu lalu. Pesan itu berisi tentang kemungkinan sampai kapan ia bertahan di tempat yang ditumpangi untuk memenuhi segala kebutuhannya? Saya tertawa sendiri membaca pesan itu. Mungkin ia khawatir kalau suatu ketika didampar seperti rekan-rekannya yang lain.
Sebetulnya, pertanyaan itu tak perlu saya jawab. Tapi ya seperti biasa, saya pasti menyambar dengan petuah ini dan itu. Sebelumnya, ia sudah sering bercerita tentang kondisi tubuhnya yang lemah, membuat ia sering sakit-sakitan. Mungkin hal itulah yang mengakibatkan orang tuanya mendoktrin, bahwa ia hanya bisa menempati posisinya saat ini.
Begitulah kiranya hidup ini, tidak hanya teman saya itu, semua orang pun akan selalu menghadapi masalah, begitu juga saya. Namun bagaimana masalah itu kita tanggapi untuk dijadikan suatu pemantik agar kita menjadi semakin mawas diri, bukan malah menggerutu sehingga membuat hidup makin menyesakkan.
Bersikap seperti itu memang berat, karena kita dituntut agar bisa menarik sudut pandang subjektif, bukan objektif. Memang, pola pikir dengan pijakan objektif itu digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah (menarik diri dari masalah), sedangkan bila kita pada posisi tertimpa masalah, maka harus bisa menggunakan pola pikir subjektif untuk membawa kita di luar masalah (objektif).
Seharusnya, kita memiliki waktu untuk sejenak keluar dari rutinitas. Tidak perlu waktu yang lama, setidaknya ada waktu 1 jam untuk merenung. Memikirkan apa saja yang kita perbuat (pola pikir subjektif) selama seharian. Selanjutnya, kita analisis berapa prosentase baik dan buruknya (pola pikir objektif), sehingga kita bisa belajar dari apa yang terjadi. Bila sudah seperti itu, maka kita akan mendapatkan pola pikir bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam kehidupan kita itu berawal dari diri kita sendiri, bukan orang lain.
Namun dari pertanyaan teman saya itu, saya merasa beruntung sebab saya lebih berani menentang keadaan. Keadaan yang mungkin jika tidak ditentang akan menjadikan saya semakin lemah dan takut bertindak. Setidaknya, saya akan menularkan virus “penentang” keadaan untuk masa depan yang lebih baik. Ya, keberanian adalah modal utama, selain kepercayaan. Sebab saya percaya di balik kesulitan ada kemudahan. Setidaknya hal itu telah dibuktikan oleh Chairul Tanjung—pemilik Group TransCorps (TransTV dan Trans7), selain itu juga pemilik Bank Mega—yang berani menjadi “penentang”, sehingga menempatkan dirinya pada posisi pengusaha sukses. Seandainya ia tidak berani menolak uang saku dari orang tuanya saat ia masih kuliah di UI, mungkin saat ini ia tidak akan bisa berada pada jajaran orang terkaya di Indonesia. Untuk mengikuti jejaknya, saya akan mengutip sebuah artikel di harian Batam Pos yang ditulis Hasan Asphani, Kamis, 19 Maret 2009, ia mengutip sebuah laporan yang berisi pendapat Chairul Tanjung:
  1. Kalau mau memulai bisnis mulailah dari yang dekat, lihat dulu apa yang ada di sekitar kita. Think entrepreneurship!
  2. Kalau tidak punya modal, kita harus kreatif. You have to think, you have to create!
  3. Mulailah dari lingkungan yang terkecil dan jangan pilih-pilih. Kesulitan justru membuat kita punya alasan untuk mengubah mind set!
  4. Jangan mau langsung dapat hasil besar. Kalau mau naik ke puncak harus naik tangga dari awal.
  5. Gagal adalah sesuatu yang biasa. Justru karena ada kegagalan kita bertambah pintar.
Setidaknya itulah ilmu yang ingin ditularkan Chairul Tanjung pada kita agar tidak terbelenggu oleh keadaan dan selalu diliputi ketakutan-ketakutan. Sebab Tuhan sudah berkata, bahwa ia tidak akan mengubah nasib hamba-Nya, bila ia sendiri tidak ingin mengubahnya.*



Email: fatoni.akhmad@gmail.com

0 comments:

Post a Comment