Kota Minyak yang Terus Berkembang
Balikpapan, secara geografis terletak di garis katulistiwa. Hal itu yang membuat daerah ini menjadi istimewa, tidak mengenal musim. Cuaca panas terik, bisa turun hujan.
Cara Hidup Hemat di Balikpapan
Balikpapan merupakan daerah yang memiliki perkembangan yang amat pesat. Bila menengok 10 tahun silam, mungkin masih banyak ditemui pohon-pohon besar (kayu besi: ulin) menjulang tinggi. Akan tetapi, sekarang akan ditemui gedung-gedung tinggi nan megah. Mulai dari mall, hotel, hingga apartemen mewah. Balikpapan kini menjadi inceran orang-orang ibukota untuk mengembangkan usaha. Tak ayal, jika pembangunan di kota ini sudah hampir sejajar dengan ibukota.
Buku Mempererat Silaturrahim
Dulu saya hanya membaca buku di perpustakaan, sampai akhirnya sekarang saya sudah memiliki koleksi buku yang sudah mencapai ratusan buku. Sekali lagi, karena hal itu berawal dari kecintaan saya terhadap buku. Lambat laun, dari yang hanya bisa membaca karya saja. Sekarang, kecintaan saya itu menghubungkan saya dengan penulis-penulis buku. Dan dari buah silaturrahim itu, saya pun mulai menulis buku. Sungguh ini tidak saya duga sama sekali.
Masalah
Ya, keberanian adalah modal utama, selain kepercayaan. Sebab saya percaya di balik kesulitan ada kemudahan. Setidaknya hal itu telah dibuktikan oleh Chairul Tanjung—pemilik Group TransCorps (TransTV dan Trans7), selain itu juga pemilik Bank Mega—yang berani menjadi “penentang”, sehingga menempatkan dirinya pada posisi pengusaha sukses.
Workshop Menulis Puisi
Workshop menulis puisi bersama Akhmad Fatoni (penyair dan akademisi). Gratis dan Terbuka untuk umum. Pendaftaran terakhir Jumat, 15 Mei 2015, pukul 15.00 WIB.
Tuesday 28 April 2015
Hunting Ceria #1
Dunia Tanpa Jendela
Dari Kiri: Aris Rahman Yusuf, Mochammad Asrori, dan Chamim Kohari. Pendiri Liliput ini sedang bercengkrama asik bersama penyair dan kyai salah satu pesantren di Mojokerto. |
Friday 24 April 2015
Buku Mempererat Silaturrahim
Durga Umayi: Buku kajian Sosiologi Sastra karya Prof. Dr. I. B. Putere Manuaba, M.Hum. |
Entah sejak kapan saya mulai jatuh cinta dengan buku. Memang awalnya, dulu hanya membaca buku-buku. Saat membaca itu, saya merasa menemukan sebuah dunia baru. Dunia yang diciptakan sang penulis melalui karyanya tersebut. Ya, hanya sebatas itu. Bermula dari membaca buku di perpustakaan, sampai akhirnya sekarang sudah memiliki koleksi buku yang sudah mencapai ratusan. Sekali lagi, hal itu berawal dari kecintaan terhadap buku. Lambat laun, dari yang hanya bisa membaca karya, sekarang kecintaan itu menghubungkan saya dengan penulis-penulis buku. Dan dari buah silaturrahim itu, saya pun mulai menulis buku. Sungguh ini tidak saya duga sama sekali.
Begitu juga dengan buku kajian Durga Umayi, Pergulatan Diri Manusia karya Prof. Putere, saat ini menjadi dosen pembimbing Tesis saya, tersebut mambu membuka silaturrahim. Loh, bagaimana ceritanya? Beberapa waktu yang lalu, Pak Wawan Setiawan, dosen Unesa dan juga sastrawan, mengadakan bincang buku di sanggar KAJ yang saya kelolah. Dari sana akhirnya kita bercakap mulai dari dunia tulis-menulis sampai pada studi master saya. Bermula dari itulah, akhirnya Pak Wawan menitipkan salam kepada Prof. Putere, "Sampaikan salam saya pada beliau. Saya ingin punya karya terbaru beliau." ujar Pak Wawan. Ketika saya bimbingan tesis, salam itu pun saya sampaikan.
Dari sanalah, akhirnya kita berbincang panjang lebar. Saya bercerita tentang Pak Wawan yang sering membuat acara di sanggar KAJ. Seusai saya bercerita, ternyata Prof. Putere juga ingin membuat acara di sanggar. Sungguh menarik itu, batin saya. Pada pertemuan selanjutnya, saya akhirnya diberi buku Durga Umayi tersebut. Dua eksemplar. Satu untuk saya dan satu untuk Pak Wawan.
Kemarin, Selasa (23 April 2015) saya menemui Pak Wawan di FBS, Unesa. Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba datanglah salah seorang mahasiswanya, berbicara tentang mata kuliah. Mendengar itu, saya pun mundur. Memberi keleluasaan agar perbincangan tersebut tidak terganggu. Aih, mahasiswi tersebut ketika saya lirik, lumayan cantik wajahnya. hehehe...
Pak Wawan dan mahasiswanya sedang bercakap-cakap tentang perkuliahan. |
Sebenarnya Pak Wawan ingin sekali bercakap panjang lebar, namun karena beliau ada urusan ke Stasiun Gubeng untuk tiketnya berangkat ke Jember. Kita pun tidak bisa berbincang lama, sebab tukang ojek langganan beliau sudah menuggu. Namun, beliau masih ingin ngopi, sehingga mengajak malamnya untuk bercengkrama santai di warung kopi. Setelah Pak Wawan berangkat dengan ojek langganannya, saya pun berangkat mengambil buku untuk diskusi Terminal Sastra, diskusi yang saya selenggarakan sebulan sekali, pada kali ini sudah kali ke-12.
Nampaknya, waktu masih belum berpihak. Sore harinya Pak Wawan SMS, katanya tidak bisa ngopi sebab urusan di Stasiun Gubeng belum selesai. Namun yang menarik yakni beliau mengirimkan SMS Pak Budi Darma: (DARI PROF BD, DIKIRIM 17 APRIL, 1955: Kalau kebetulan ketemu lagi dg teman2 dari komunitas, tolong sampaikan salam saya.) Sungguh, salam yang cukup mendebarkan. Serupa salam dari seorang gadis cantik, hehehe...maklum sedang jomblo (sedikit promosi tak apalah). Semoga suatu ketika, Pak Budi Darma bisa berkunjung ke sanggar KAJ dan kita membuat diskusi buku ataupun berbincang tentang sastra. Terimakasih Pak Budi Darma, salamnya sudah saya terima.***
Thursday 23 April 2015
Identitas Sosial dan Gaya Hidup Anggota Komunitas Molor
Ketua Molor: G-Bun dan sepeda juaranya. |
Komunitas Molor merupakan komunitas sepeda yang anggotanya terdiri dari anak-anak muda di daerah Mojosari dan sekitarnya. Namun untuk basecamp bermarkas di bengkel steel pelek di Jalan Airlangga Kauman-Mojosari (utaranya rumah sakit Kartini). Nama Molor sendiri merupakan kepanjangan dari Mojosari Low Rider. Komunitas ini berdiri sejak tahun 2010, didirikan oleh Rudi Putra “G-Bun” Budi Sartika. Molor terbentuk karena dua alasan, yakni pertama, sebagai bentuk support kepada kelompok musik SID, karena personil SID juga memakai sepeda Low Rider (Banly). Kedua, karena fanatik dengan sepeda antik.
Komunitas Molor: Saat menonton konser SID |
Identitas Sosial
Pengertian identitas yang dimaksud di sini yakni identitas yang terbentuk dari kacamata sosial. Sedangkan Identitas sosial menurut Barker (2005) ialah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal yang dimiliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan yang membedakannya dengan orang lain. Maka dari itu, bila berbicara identitas pasti hal itu berkaitan dengan interaksi, entah itu personal dengan personal atau suatu kelompok.
Dalam tulisan ini, akan menyoroti bagaimana Komunitas Molor membentuk identitas sosialnya. Brown (2004) berpendapat bahwa identitas sosial itu bisa terbentuk dari bagaimana suatu kelompok membentuk dengan baik sehingga bisa lebih baik dari kelompok yang lain. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan salah satu anggota, ternyata Komunitas Molor selain sebagai wadah untuk menyalurkan hobi dan mendukung kolompok musik SID, mereka juga menyelenggarakan acara-acara sosial.
Acara-acara itu meliputi tanam pohon yang dilaksanakan di Mojokerto bersama komunitas Mojopahit Low Rider; Peringatan hari HIV dengan cara membagi-bagi balon di jalanan kota Mojokerto (sekitar alun-alun). Pada setiap kegiatan yang dilakukan dana diambil dari uang kas yang setiap dikumpulkan setiap kali pertemuan, sebesar Rp5.000. Acara tersebut mereka lakukan dengan bersepeda (gowes), dan pada saat gowes ini karena memang jalannya sepeda tidak bisa cepat menimbulkan daya tarik sendiri pada masyarakat sekitar. Bahkan terkadang ada warga yang meminta mereka berhenti sejenak untuk sekadar foto bersama.
Foto Bersama: Komunitas Molor seusai acara gowes. |
Dan pada saat acara peringatan hari HIV, mereka membagikan balon tersebut tentu bukan tanpa maksud. Balon yang mereka bagikan adalah sebuah simbol untuk menggantikan alat kontrasepsi (baca: kondom) yang memang bentuknya mirip dengan balon. Selain acara sosial tersebut, Komunitas Kolor juga melakukan pengenalan budaya Mojokerto melalui acara silaturrahim antarkomunitas pecinta sepeda antic (Low Rider). Acara tersebut dihadiri oleh komunitas Low Rider Alarm Malang, Slow (Surabaya Low Rider), SKK (Sidoarjo Kustom Kruiser), Independen Sidoarjo, Lovy Sidoarjo, Glowridan (Gerombolan Low Rider Krian). Pada acara tersebut mereka gowes bareng untuk mengunjugi situs-situs yan ada di Trowulan.
Tentu hal itu menjadi suatu hal yang rekreatif, sebab di tengah gemuruhnya kendaraan bermotor melintas segerombolan orang yang menaiki sepeda angin. Bahkan kata salah satu anggota Molor menjelaskan masyarakat berbaris rapi di pinggir jalan saat mereka melintas. Meskipun barisan yang terbentuk itu tidak terencana, namun dari begitu banyaknya gowes akhirnya orang-orang yang saat itu beraktivitas di pinggir jalan pada menghentikan aktivas. Ada yang yang hanya menonton, ada juga yang sambil memotret.
Gaya Hidup
Logo Komunitas: Eksistensi Molor dalam event Low Rider di Surabaya |
Pada Komunitas Molor ini, seperti sejarah berdirinya selain sebagai fanatisme terhadap SID juga sebagai hobi dengan sepeda antik. Pada tujuan yang kedua inilah peran konsumsi dimainkan. Para anggota Molor yang setiap malam Minggu bertemu ini, tidak segan-segan menghabiskan uang mereka untuk memodifikasi sepeda anginnya tersebut. Menurut Miftah, salah satu anggota Molor biaya modifikasi bisa mencapai sekitar Rp1.500.000-Rp3.000.000.
Kenapa mereka sampai berani mengeluarkan uang begitu banyak hanya untuk memodifikasi sepeda angin? Tentu pertanyaan itu akan kerap dilontarkan bagi orang-orang yang tidak sedang gila (baca: hobi) dengan benda antik tersebut. Namun bagi yang sudah terlanjur hobi, hal itu tidak menjadi kendala, bahkan semakin bagus sepeda yang mereka miliki maka akan semakin naik prestise-nya di mata anggota yang lain. Dan akan merasa lebih bahagia bila orang-orang mengerubungi dan berfoto di sepeda anginnya. Sebab wilayah eksperimentasi gaya hidup menurut Zablocki dan Kanter (dalam Ibrahim 2009) tidak lagi berjalan koheren yang membuat konsumsi lebih besar daripada produksi.
Terus Berkreasi: Komunitas Molor saat ikut event di Gedung Pahlawan Surabaya. |
Narasumber: Nur Miftakhus (anggota Komunitas Molor)
Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Brewer, M.B. 2004. Taking the Social origins of Human Nature Seriously: Toward a more Imperalist Social Psychology. Personality and social psychology review, 8, 107–113.
Ibrahim, Idi Subandy. 2009. Lifestyle Sebuah Pengantar Komprehensif David Chaney. Yogyakarta: Jalasutra.
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Weton
Pada suatu malam, saya sempat mengobrol dengan teman saya di sanggar KAJ. Obrolan itu saya rasa menarik dan akhirnya saya memilih menuliskannya agar bisa bermanfaat buat orang banyak. Semoga. Obrolan itu berbicara tentang salah satu kearifan lokal. Weton.Ya, di Jawa ada tradisi weton atau lebih dikenal dengan pasaran Jawa. Namun hal itu kian tertepiskan, sehingga generasi saat ini sudah luput dengan weton. Dan hal itu membuat generasi saat ini tidak bisa menghitung dino pasaran (pasaran Jawa). Di mana dino pasaran bagi orang Jawa merupakan pusat dari poros kehidupan. Ya, itulah yang membuat orang Jawa eleng lan waspodo.
Namun karena generasi muda Jawa saat ini sudah tidak tahu weton, otomatis sudah tidak memperhatikan sakralitas atau rambu-rambu dalam melangkah. Segala hal yang dilakukan hanya bertumpu pada logika. Padahal dalam dunia ini ada yang namanya mikrokosmos dan makrokosmos. Di mana dalam makrokosmos itu terdapat beragam mikrokosmos yang saling berkaitan dan bekerjasama satu sama lain. Lha, weton adalah salah satu mikrokosmos tersebut.
Lantas apa hubungannya dengan insiden kecil saya kemarin? Titik temunya yakni weton kecelakaan yang terjadi kemarin. Bila dilihat dari weton (dino pasaran), saya jatuh kemarin pada hari Selasa Kliwon (pasaran dalam Jawa selain Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage). Pasaran itu dikait-ikutkan dengan dino (hari dalam seminggu), sehingga bila digabung kedua unsur tersebut disebut dino pasaran, semisal Senin Pahing, Selasa Pon, Rabu Wage, Kamis Kliwon, atau Jumat Legi. Dino pasaran hanya terjadi sekali dalam sebulan, misal Senin Pahing, maka dalam bulan Maret ini hanya ada 1 Senin Pahing. Hal itu dalam Jawa disebut dengan pendhak.
Obrolan dengan kawan saya tadi, bermula dari ingatan atas pesan dari ibunya. Di mana ibunya mengingatkan weton kali pertama dia kecelakaan. Dan ketika kawan saya itu kecelakaan lagi, ternyata ditelisik juga terjadi di weton yang sama. Hal itu, tidak diberitahukan si ibu kepada kawan saya itu. Entah dengan alasan apa. Namun saya mengira, pemutusan itulah yang membuat tradisi Jawa saat ini tidak berlanjut ke generasi muda saat ini. Namun kawan saya itu akhirnya diberitahu ketika terjadi kecelakaan untuk yang kali ketiga. Sang ibu lalu berpesan, bila ia keluar atau ke mana-mana di hari weton di mana ia 3 kali kecelakaan, harus berhati-hati dan terlebih ibunya melarang bepergian jika keperluan tersebut bisa ditunda.
Yah, semoga saja sedikit ulasan saya tentang weton di hari naas yang terjadi dalam hidup kita, yang kerap kita acuhkan, di kemudian hari bisa lebih berhati-hati. Dan tentunya membuat kita eleng lan waspodo. ***
Tuesday 21 April 2015
Cara Hemat Hidup di Balikpapan
Warkop Ipi:harga pas, pengunjung puas. |
Warung IPI didirikan sejak enam tahun lalu oleh Hendro dan satu rekannya. Segalanya dibagi rata. Hendro berjaga siang sampai malam, sedangkan temannya dari pagi-siang. Hendro memang sengaja memilih malam, biar bisa enjoy. Jika pagi, pasti kewalahan dan harus menambah karyawan lagi. Jika berjaga malam, ia hanya dibantu dengan dua orang karyawan, terkadang juga ditemani istri tercintanya. Meskipun untuk omset yang didapat ketika malam hanya berkisar 500-800 (laba bersih), beda jauh dengan pagi yang bisa sampai 1,5-2 juta. Memang, jika pagi banyak yang berjubel datang ke mari. Mulai dari pelajar, karyawan, dan sales. Terkadang juga datang anggota DPR, sampai walikota.
Sederhana: Diskusi bisa terjadi di mana saja. |
Monday 20 April 2015
Kota Minyak yang Terus Berkembang
Apa kabar pembaca setia Konsultan Menulis? Semoga semua dalam kondisi sehat dan berbahagia. Alhamdulilah, saya juga dalam keadaan yang sehat dan berbahagia. Maka dari itu, dalam tulisan kali ini saya mau berbagi kebahagian itu kepada Anda. Tulisan ini merupakan cacatan perjalanan saya pekan lalu. Perjalanan yang membuat saya bisa menginjakkan kaki kali pertama di kota minyak, Balikpapan.
Saat asik-asiknya memotret buaya, tiba-tiba hujan turun. Padahal, saya saat itu sedang mandi keringat. Bisa membayangkan bukan bagaimana panasnya cuaca saat itu? Percaya ndak percaya. Akhirnya, saya pun berlari mencari tempat berteduh. Di kala berteduh itu pulalah, saya menemukan penyewaan buaya untuk dibuat kenang-kenangan. Akhirnya, saya pun mejeng bersama si anak buaya itu. Mungkin karena terlalu asik dan juga panik, sehingga saya memegang si anak buaya itu terlalu kencang. Akibatnya, ia menggelepar ingin melepaskan diri dari cengkraman tangan saya. Wah, betapa paniknya diri ini. Saya membayangkan buaya yang bisa memakan manusia hidup-hidup kini mau berontak di tangan saya. Untungnya saja, si anak buaya itu mulutnya sudah diikat. Rasa was-was pun sedikit berkurang, tapi tetap saja diri ini senam jantung dibuatnya.
Melihat kepanikan saya itu, tiba-tiba si pawang buaya datang, “Ndak usah kenceng-kenceng Pak kalau memegang. Santai saja!”Tuturnya, agak sedikit kesal. Sebab mata pencariannya saya cengkeram sampai tidak bernafas. Lah, benar ternyata si buaya tidak bergerak ketika dipegang penuh perasaan.
Kejadian itu, tidak berlalu begitu saja dalam benak saya. Entah kenapa? Bila sudah seperti itu, maka saya harus menyelesaikannya. Mungkin itulah salah satu penyebabnya kenapa saya suka mengamati hal-hal kecil.
Buaya, yang notabene seorang binatang, jika disikapi atau diperlakukan dengan cara kasar. Ia pun berbalik, membalas dengan cara kasar. Makanya, sering kali kita mendengar. Kekerasan tidak bisa diatasi atau diselesaikan dengan kekerasan. Itulah, filosofi dari sikap buaya tadi. Kita bisa mempelajari dan menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mari berperilaku lemah lembut. Saya yakin, tiada orang yang akan berbuat kasar. Jika ada mungkin itu bisa dihitung dengan jari.
***
Selain fenomena cuaca yang cukup mencuri perhatian, ada juga beberapa hal yang membuat saya kagum dan tercenung. Konon, 10 tahun yang lalu kota ini masih berupa kota kecil. Selebihnya, hanya hutan dengan pohon besi (Ulin) yang menjulan tinggi. Pohon yang bisa bertahan hidup ratusan tahun lamanya. Jika di Jawa, mungkin itu bisa dipadupadankan dengan pohon Jati. Sama-sama mahalnya. Kayu Ulin itu pulalah, yang dulu digunakan menjadi rumah adat orang sana. Sebab, kayu ini terkenal kuat dan tidak mudah dimakan Totor.
Pasar Terapung: Pasar Tradisional di Balikpapan |
Hal lain, yang membuat saya terkesima yakni tentang para pengendara. Ini yang mungkin jarang kita temui. Ketika beberapa hari saya di sana memang sempat kaget. Betapa tidak, semua pengendara di sana amat santun. Saya jadi teringat kerapian lalu lintas di Barat. Meskipun saya belum pernah keluar negeri sih, setidaknya kebiasaan itu bisa dinikmati dari film-film Hollywood. Namun saya tidak sedang menonton film, saya melihatnya. Rapi dan teratur. Tidak ada emosi. Menakjubkan.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan bila Anda belum pernah ke mari, yakni berhati-hatilah dalam berbelanja. Sebab di sini harganya amat mahal. Jangan sampai Anda membeli sesuatu langsung tanpa bertanya harga terlebih dahulu, bisa-bisa Anda kesal dikarenakan harga yang teramat tinggi. Ini saran dari saya, bila Anda di sana. Maka lebih enaknya Anda ke kedai cepat saji seperti KFC, McD, dll. Sebab itu lebih pasti, Anda bisa tahu harga barang atau sesuatu yang Anda beli. Tanpa harus merasakan kecewa di belakang. Yah, itu sedikit berita bahagia yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa bermanfaat. Amin.
Mojokerto, 22 Juni 2013
Masalah
- Kalau mau memulai bisnis mulailah dari yang
dekat, lihat dulu apa yang ada di sekitar kita. Think entrepreneurship!
- Kalau tidak punya modal, kita harus kreatif.
You have to think, you have to
create!
- Mulailah dari lingkungan yang terkecil dan
jangan pilih-pilih. Kesulitan justru membuat kita punya alasan untuk
mengubah mind set!
- Jangan mau langsung dapat hasil besar. Kalau
mau naik ke puncak harus naik tangga dari awal.
- Gagal adalah sesuatu yang biasa. Justru
karena ada kegagalan kita bertambah pintar.
Teori Strukturalisme Levi Strauss
Secara etimologis struktur menurut Teeuw (dalam Ratna, 2006: 88) berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Asal-usulnya dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi berbicara mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan.
Menurut Junus (dalam Endraswara, 2004: 49) strukturalis memang sering dipahami sebagai bentuk. Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya. Di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukkan oleh mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem (Ratna, 2006: 91).
Para ahli antropologi melihat adanya hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Baik hubungan yang timbal balik, saling memengaruhi, atau pun hubungan yang lebih menentukan yang bersifat satu arah: kebudayaan memengaruhi bahasa, atau sebaliknya bahasa memengaruhi kebudayaan. (Ahimsa, 2001: 23). Oleh karena itu, pemahaman dasar akan strukturalisme mengacu pada model penelitian linguistik. Karena dalam strukturalisme setiap benda yang berbentuk itu pasti memiliki struktur. Meskipun demikian Levi-Strauss mengingatkan bahwa dalam memahami korelasi antara bahasa dan kebudayaan kita harus berhati-hati dan sangat perlu memperhatikan tingkat atau level untuk mencari korelasi tersebut dan mengorelasikannya. Korelasinya adalah cara suatu masyarakat mengekspreksikan pandangan mereka tentang waktu pada tataran bahasa dan kebudayaan (Ahimsa Putra, 2001: 26).
Namun dalam makalah ini, lebih dikhususkan kepada teori strukturalisme Levi Strauss. Levi Strauss dalam dunia akademik lebih dikenal sebagai ahli antropologi. Akan tetapi, pemikiran-pemikirannya tidak hanya berbicara tentang antropologi. Oleh karena itulah, Levi Strauss mendapatkan tempat terhormat dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan lainnya seperti sastra, filsafat, sosiologi, dan telaah seni (Ahimsa-Putra, 2006: 3).
Selanjutnya, Ahimsa Putra (2001: 31) mengatakan bahwa Strukturalisme Levi-Strauss secara emplisit mengangap teks naratif, seperti misalnya mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah suatu kesatuan yang bermakna (meaningful whole), yang dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pikiran seorang pengarang, seperti halnya kalimat memperlihatkan atau mengejahwantahkan pemikiran seorang pembicara. Makna teks naratif tersebut lebih dari makna yang ditangkap dari kalimat-kalimat tunggal yang membentuk teks tersebut, sebab kita bisa saja memahami makna kalimat-kalimat ini, tetapi tidak dapat menangkap makna keseluruhan teks. Jadi, apa yang diekspresikan atau ditampilkan oleh sebuah teks adalah lebih dari yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat yang membentuk teks tersebut. Seperti halnya makna sebuah kalimat adalah lebih dari sekadar makna yang diekspresikan kata-kata yang membantuk kalimat tersebut.
Kedua, teks tersebut memberikan bukti bahwa teks diartikulasikan dari bagian-bagian, sebagaimana halnya kalimat-kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Sebuah teks adalah kumpulan peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang bersama-sama membentuk sebuah cerita serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Strukturalisme Levi-Strauss secara emplisit menganut pandangan bahwa sebuah cerita (naratif), seperti halnya sebuah kalimat, maknanya merupakan sebuah hasil dari suatu proses artikulasi yang seperti itu (Pettit, 1977). Oleh karena itu, Hawkes menyatakan (dalam Sudikan, 2007: 57) bahwa kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak memunyai makna dengan sendirinya, melainkan ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu.
Konsep penting dalam strukturalisme Levi-Strauss yaitu struktur dan transformasi. Dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan struktur batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Sedangkan kalau struktrur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari (Ahimsa, 2001: 61-62).
Peneliti memilih struktural Levi-Strauss karena struktural Levi-Strauss berbeda dengan strukturalisme-strukturalisme yang ada. Strukturalisme Levi-Strauss berbeda dengan strukturalisme Emile Durkheim, A.R. Radcliff-Brouwn, Talcott Parsons dan Robert Merton yang dikenal dengan aliran Fungsionalisme, juga berbeda dengan struktural Dependensi atau Ketergantungan struktural, yang lebih kental warna marxisnya dan berbeda pula dengan struktural yang dikembangkan Jean Piaget, meskipun ada beberapa kesamaan (Ahimsa, 2001: 66).
Yang membedakan semua itu karena Struktural Levi-Strauss memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tunggal, pakaian dan sebagainya. Secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane, 1970: 13-14), atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh kerena itu, terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut. Adanya keterulangan dan kekertataan ini peneliti atau pengamat budaya melakukan abstraksi atas gejala-gejala dan merumuskan aturan-aturan abstrak di baliknya, yang disebut sebagai bahasa atau kode (code). Kode di sini diartikan sebagai semua jenis sistem komunikasi yang dimanfaatkan secara sosial, oleh banyak orang (Lane, 1970:14, dalam Ahimsa-Putra, 2001).
Kedua, para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis-sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau ‘menempelkan’ suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Kemampuan dasar ini (inherent capasity) ini berdesain sedemikian rupa sehingga berbagai macam kemungkinan penstrukturan tidak lantas menjadi tanpa batas (Lane, 1970:4, dalam Ahimsa-Putra, 2001). Gejala dipandang memiliki struktur sendiri-sendiri, yang disebut sebagai strukture, struktur dalam, yang merupakan struktur dari struktur permukaan, atau struktur dari struktur. Struktur permukaan mungkin disadari oleh pelakunya tetapi struktur dalam berada dalam tatanan nirsadar, seperti yang ada pada bahasa. Jadi struktur ini bukanlah apa yang kita lihat dan dengar dalam kenyataan, akan tetapi struktur tersebut dapat kita ketahui, kita abstraksikan, dari berbagai gejala yang nyata (Lane, 1970: 50, dalam Ahimsa-Putra, 2001).
Ketiga, mengikuti pandangan dari Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu. Secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Sehingga dalam menelaah fenomena harus mengetahui terlebih dahulu relasi sinkronis dulu baru diakronisnya. Dan tidak mengaju pada hubungan sebab-akibat. Karena sebab-akibat merupakan relasi diakronis, melainkan mengacu pada hukum-hukum transformasi. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi itu dapat dijelaskan dalam membandingkan pola-pola relasi yang ada pada gejala-gejala yang terpisah dalam ruang dan waktu, misalnya kita akan menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan pada konfigurasi struktural. Dan dalam strukturalis hukum transformasi dianggap sebagai alih-rupa (transformasi) dari konfigurasi struktural yang lain. Hasil pengamatan yang dilakukan berkali-kali kemudian akan sampai pada kesimpulan bahwa suatu struktur tertentu selalu beralih rupa dengan cara tertentu (Ahimsa-Putra, 2001).
Keempat, relasi-relasi yang berada dalam struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary apposition) yang paling tidak punya dua pengertian. Pertama, oposisi binair yang bersifat ekslusif seperti misalnya pada ‘p’ dan ‘q’ (bukan ‘p’). Hak ini misalnya pada kategori menikah dan tidak menikah. Kedua, oposisi binair yang tidak ekslusif, yang kita temukan dalam berbagai kebudayan misalnya seperti oposisi, air-api, gagak-elang, siang-malam, matahari-rembulan dan sebagainya (Ahimsa, 2001: 67-70).
Keempat asumsi dasar itu, telah ditetapkan Levi-Straus dalam tetraloginya tentang orang Indian di benua Amerika. Lebih lanjut dijelaskan orang Indian hidupnya sederhana, yang bisa dikatakan pada dasar peradapan manusia. Logika itu pada dasarnya tidak berbeda dengan orang-orang “modern” yang hidup di kota-kota besar seperti New York, Paris, Amsterdam atau London, yang merasa dirinya sebagai orang yang beradap. Dari penelitian itulah ditentukan sintesa cerita aneh, unik, menyesakkan, dan mencengangkan, yang masih hidup maupun telah mati, yang berasal dari orang-orang Indian tersebut. Yang hal itu akhirnya disebut oleh Levi-Strauss dengan logika dari the science of the concrete atau totemisme (Ahimsa, 2001: 71).
Berdasarkan atas tersebut, Ahimsa-Putra (2006: 93) menyatakan bahwa cara kerja (analisis) teori strukturalisme Levi Strauss meliputi: pertama, mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, sehingga unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dikombinasikan untuk menentukan makna. Kedua, mitos dipandang sebagai bahasa, akan tetapi tidak semua bisa diterjemahkan sebagai bahasa hanya ciri-ciri mitos yang sesuai dengan kaidah bahasa saja. Ketiga, ciri-ciri mitos tersebut berada pada tingkatan di atas bahasa, karena sifatnya lebih kompleks, rumit daripada cirri-ciri bahasa ataupun ciri yang ada dalam suatu kebahasaan.
Hal itulah akhirnya ang membuat gejala bahasa dalam kacamata Levi Strauss berbeda dengan bahasa dalam kacamata para linguis. Perbedaan tersebut terletak pada cara analisis Levi Stauss, yakni menganalisis unsur terkecil dari bahasa mitos, mytheme. Secara terperinci susunannya yakni dimulai dari mencari mytheme (miteme), lalu menyusunnya secara sintagmatis dan paradigmatic atau yang sering disebut sebagai oposisi binar (binary opposition) (Ahimsa-Putra, 2006: 95-96).
Setelah mitos tersebut sudah disusun dan membentuk oposisi binner, maka peneliti baru menerjemahkan dari susunan mitos tersebut untuk diketahui maknanya. Susunan tersebut, telah membentuk makna baru yang oleh Levi Strauss disebut dengan korpus mitos. Pemaknaan atas korpus mitos itulah yang merupakan titik akhir dari cara kerja teori strukturalisme Levi Strauss. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori Strukturalisme Levi Strauss merupakan pemaknaan atas beberapa mitos yang saling berhubungan.
Ahimsa-Putra, Henddy Shri. 2001. Struktural Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.Yogyakarta: Galang Press
Endraswara, Suwardi. 2004. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Ratna, Nyoman Kunta. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
__________________. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif (edisi revisi). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.