Kota Minyak yang Terus Berkembang

Balikpapan, secara geografis terletak di garis katulistiwa. Hal itu yang membuat daerah ini menjadi istimewa, tidak mengenal musim. Cuaca panas terik, bisa turun hujan.

Cara Hidup Hemat di Balikpapan

Balikpapan merupakan daerah yang memiliki perkembangan yang amat pesat. Bila menengok 10 tahun silam, mungkin masih banyak ditemui pohon-pohon besar (kayu besi: ulin) menjulang tinggi. Akan tetapi, sekarang akan ditemui gedung-gedung tinggi nan megah. Mulai dari mall, hotel, hingga apartemen mewah. Balikpapan kini menjadi inceran orang-orang ibukota untuk mengembangkan usaha. Tak ayal, jika pembangunan di kota ini sudah hampir sejajar dengan ibukota.

Buku Mempererat Silaturrahim

Dulu saya hanya membaca buku di perpustakaan, sampai akhirnya sekarang saya sudah memiliki koleksi buku yang sudah mencapai ratusan buku. Sekali lagi, karena hal itu berawal dari kecintaan saya terhadap buku. Lambat laun, dari yang hanya bisa membaca karya saja. Sekarang, kecintaan saya itu menghubungkan saya dengan penulis-penulis buku. Dan dari buah silaturrahim itu, saya pun mulai menulis buku. Sungguh ini tidak saya duga sama sekali.

Masalah

Ya, keberanian adalah modal utama, selain kepercayaan. Sebab saya percaya di balik kesulitan ada kemudahan. Setidaknya hal itu telah dibuktikan oleh Chairul Tanjung—pemilik Group TransCorps (TransTV dan Trans7), selain itu juga pemilik Bank Mega—yang berani menjadi “penentang”, sehingga menempatkan dirinya pada posisi pengusaha sukses.

Workshop Menulis Puisi

Workshop menulis puisi bersama Akhmad Fatoni (penyair dan akademisi). Gratis dan Terbuka untuk umum. Pendaftaran terakhir Jumat, 15 Mei 2015, pukul 15.00 WIB.

Tuesday 28 April 2015

Hunting Ceria #1

Hello, pada acara hunting ceria kali ini, saya ditemani oleh Anita.
Ya, dia seorang peranakan Arab. Dan pada postingan ini, saya upload 3 foto. 



Dunia Tanpa Jendela

Oleh Akhmad Fatoni

Dari Kiri: Aris Rahman Yusuf, Mochammad Asrori, dan Chamim Kohari.
Pendiri Liliput ini sedang bercengkrama asik bersama penyair dan kyai salah satu pesantren di Mojokerto.

Bayangkan bagaimana hidup tanpa buku? Ketika saya membayangkan tiba-tiba bayangan itu teramat menyeramkan. Iya, amat menyeramkan. Bagaimana tidak, bayangan tentang tak ada sejarah, tak ada sekolah, tak ada perpustakaan, tak ada puisi, tak ada cerpen, tak ada novel, tak ada kamus, dan tentu tak ada toko buku, juga pastinya tidak ada kupu-kupu lucu (promosi tidak apalah sedikit, kupu-kupu lucu atawa KKL adalah toko buku dan penerbit indie yang saya kelolah, hehehe). Ya, tentu semua itu tidak ada bukan. Dan kata-kata yang mendengung di telinga saya karena dulu sering digemborkan Tantowi Yahya dalam salah satu acara di stasiun televisi, "buku adalah jendela dunia". Walaupun tidak dari Tantowi Yahya, kalian juga tahu toh? Baiklah, coba kita sedikit kritis (ya sedikit saja kalau banyak nanti waktu kalian habis dan pacarnya ndak kebagian waktu) dengan berimajinasi bagaimana dunia tanpa jendela. Bisa? Saya yakin kalau membayangkan rumah, toko, kantor, dan gedung-gedung lain tanpa jendela pasti bisa. Dan untuk membayangkan dunia tanpa jendela, pasti sulit bukan? Kalian pasti tidak bisa (bukannya menghina, tapi ini kenyataan. Loh jangan marah dulu, saya juga tidak bisa kok membayangkannya, hehehe).

Bagaimana bisa?
Kalau asal membayangkan sih pasti bisa. Ya membayangkan dengan bayangan absurd. Bayangan yang tidak realis. Ya, pokoknya fiktif deh. Kalian pasti bisa, wong saya tinggal merem saja langsung bisa kok. Eh, tapi jangan membahas yang absurd dulu, jangan yang nonrealis dulu. Loh, kenapa ndak boleh wong di dunia ini saja isinya ada dua itu, realis dan nonrealis. Ya, ya, ya, saya tahu, kalau soal itu saya yakin kalian pasti punya banyak alasan untuk mendebat. Eist, tunggu dulu, coba saya tanya apakah hidup kalian ini nonrealis? Apakah kalau kalian lapar, terus minta makan di warung (tidak beli loh ini karena tidak punya uang) akan diberi? Ya, kemungkinan untuk diberi itu 10 persen (kalau penjaga warungnya itu baik dan memang mengakui kalau kita ini selalu tidak punya uang dan sering utang di situ, tapi kalau catatan utangnya numpuk pasti penjual menggerutu). Bener tidak? Oke, maka dari itulah saya mengajak berimajinasi yang realis dulu. Sudah? Bisa membayangkan? Susah toh? Ya susah. Maka dari itu, hal yang mustahil itu tentu sama dengan betapa pentingnya buku itu dalam kehidupan dunia.

Kehidupan dunia bagaimana maksudnya?
Beginiloh, dunia itu membutuhkan buku. Semua aktivitas di dunia ini membutuhkan buku. Makanya sampai muncul, "buku adalah jendela dunia" itu ya tentu karena itu. Sudah menjadi kebutuhan. Ya, kadang kita saja yang sok cuek tidak butuh. Iya, tidak butuh. Memang sih, tapi kalau dicermati yang berpendapat seperti itu orang yang malas. Orang yang mengandalkan orang lain. Berpangku tangan. Ya bagaimana tidak, mereka yang tidak mau membaca buku itu menunggu diberitahu orang yang membaca buku. Loh, wong saya tidak diberitahu orang yang baca buku kok? Jika ada yang ngeyel seperti itu, ya memang, wong yang memberitahu itu diberitahu. Menyebar. Mulut ke mulut (sebenarnya dari mulut ke telinga, mulut ke telinga lagi, karena kita orangnya males ribet ya disingkat saja mulut ke mulut).

Lantas apa yang perlu diperbaiki?
Ya, tidak ada yang perlu diperbaiki. Wong tidak ada yang rusak kok. Semua sudah bener. Cuma yang tidak bener ya kawan-kawan Liliput ini. Loh, kok bisa begitu? (Aih, saya takut kalau dua orang penggagas Liliput ini datang mengeroyok saya wong badannya gede-gede begitu. Hehehe...) Ya, dalam imajinasi saya liliput itu makhluk atau sesuatu yang kecil. Imut-imut (Ya seperti saya ini, oh iya saya sekarang jomblo loh, ya kali aja ada yang sedang cari pacar). Eh, kok malah yang di balik Liliput orangnya ginuk-ginuk. Ya, ambyar imajinasi saya. Lah, lantas dijawab kapan hari oleh Mochammad Asrori kepada saya bahwa Liliput itu LINGKAR LITERASI PUTIH. Ya saya sontak jawab, OW. Ya, begitu kayak orang tolol (memang tolol sih, kalau tidak tolol ya sudah punya pacar, tidak hanya bergulat dengan buku saja, tapi saya orangnya asik kok diajak ngobrol). Sejak saat itulah, saya sering sekali melihat dua orang itu (Mochammad Asrori dan Aris Rahman Yusuf) sering bersama. Mereka juga asik seperti saya kok orangnya. Aris itu juga masih jomblo loh (ya siapa tahu ada dua jomblowati yang baca tulisan ini dan kebetulan sahabatan akhirnya hanya saling memandang karena harus rebutan mengalah untuk PDKT pada saya), jadi bisa dibagi. Satu kenalan dengan saya dan satu dengan Aris. Loh kalau Kak Asrori bagaimana kok tidak dikenalkan. Apakah dia jomblo juga? Aih, saya ndak ikut-ikut kalau nanti ada yang melotot memandang kalian, hehehe... So, biar yang tidak bener (sebenarnya sudah tepat, cuma pergerakan kawan-kawan Liliput ini di media online saja. Satu contoh saat ini sedang menggelar Lomba dan pesertanya sudah banyak loh. Buruan ikutan, tinggal gabung di akun FB Liliput), makanya kakak Liliput yang ndak imut-imut itu berencana menurunkan aktivitas yang semula hanya online menjadi offline dengan saya yakni mengobrol tentang buku. Rutin. Ya, semacam kelompok atau club buku begitulah nantinya.

Jadi, kalian sudah faham betapa pentingnya buku? Jika masih menjawab tidak punya waktu dan malas. Ya sudah sana, tapi kalau kalian termasuk orang yang suka mengubah kebiasaan. Di sinilah waktunya, saya dan para pendiri Liliput ini hari Minggu, 3 Mei 2015, mau ngobrol buku. Ya, bincang-bincang buku begitulah. Namanya buku itu penting. Ya seperti pacar, kalau sedang ketemu teman ya kita curhatkan. Lah, kebetulan buku itu saat ini yang mengantikan sosok pacar, ya bukulah yang mau saya obrolkan pada Kak Aris dan Kak Asrori ini. Eh, Kak di mana ngobrolnya? Tahu perpustakaan umum Kabupaten Mojokerto? Ya di situ nanti kita berbincang JENDELA DUNIA. Silakan bergabung dengan kami. Ya, semoga saja ada kopi. ***

Friday 24 April 2015

Buku Mempererat Silaturrahim

Oleh Akhmad Fatoni


Durga Umayi: Buku kajian Sosiologi Sastra karya Prof. Dr. I. B. Putere Manuaba, M.Hum.

Entah sejak kapan saya mulai jatuh cinta dengan buku. Memang awalnya, dulu hanya membaca buku-buku. Saat membaca itu, saya merasa menemukan sebuah dunia baru. Dunia yang diciptakan sang penulis melalui karyanya tersebut. Ya, hanya sebatas itu. Bermula dari membaca buku di perpustakaan, sampai akhirnya sekarang sudah memiliki koleksi buku yang sudah mencapai ratusan. Sekali lagi, hal itu berawal dari kecintaan terhadap buku. Lambat laun, dari yang hanya bisa membaca karya, sekarang kecintaan itu menghubungkan saya dengan penulis-penulis buku. Dan dari buah silaturrahim itu, saya pun mulai menulis buku. Sungguh ini tidak saya duga sama sekali.

Begitu juga dengan buku kajian Durga Umayi, Pergulatan Diri Manusia karya Prof. Putere, saat ini menjadi dosen pembimbing Tesis saya, tersebut mambu membuka silaturrahim. Loh, bagaimana ceritanya? Beberapa waktu yang lalu, Pak Wawan Setiawan, dosen Unesa dan juga sastrawan, mengadakan bincang buku di sanggar KAJ yang saya kelolah. Dari sana akhirnya kita bercakap mulai dari dunia tulis-menulis sampai pada studi master saya. Bermula dari itulah, akhirnya Pak Wawan menitipkan salam kepada Prof. Putere, "Sampaikan salam saya pada beliau. Saya ingin punya karya terbaru beliau." ujar Pak Wawan. Ketika saya bimbingan tesis, salam itu pun saya sampaikan.


Dari sanalah, akhirnya kita berbincang panjang lebar. Saya bercerita tentang Pak Wawan yang sering membuat acara di sanggar KAJ. Seusai saya bercerita, ternyata Prof. Putere juga ingin membuat acara di sanggar. Sungguh menarik itu, batin saya. Pada pertemuan selanjutnya, saya akhirnya diberi buku Durga Umayi tersebut. Dua eksemplar. Satu untuk saya dan satu untuk Pak Wawan.


Kemarin, Selasa (23 April 2015) saya menemui Pak Wawan di FBS, Unesa. Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba datanglah salah seorang mahasiswanya, berbicara tentang mata kuliah. Mendengar itu, saya pun mundur. Memberi keleluasaan agar perbincangan tersebut tidak terganggu. Aih, mahasiswi tersebut ketika saya lirik, lumayan cantik wajahnya. hehehe...



Pak Wawan dan mahasiswanya sedang bercakap-cakap tentang perkuliahan.

Sebenarnya Pak Wawan ingin sekali bercakap panjang lebar, namun karena beliau ada urusan ke Stasiun Gubeng untuk tiketnya berangkat ke Jember. Kita pun tidak bisa berbincang lama, sebab tukang ojek langganan beliau sudah menuggu. Namun, beliau masih ingin ngopi, sehingga mengajak malamnya untuk bercengkrama santai di warung kopi. Setelah Pak Wawan berangkat dengan ojek langganannya, saya pun berangkat mengambil buku untuk diskusi Terminal Sastra, diskusi yang saya selenggarakan sebulan sekali, pada kali ini sudah kali ke-12.


Nampaknya, waktu masih belum berpihak. Sore harinya Pak Wawan SMS, katanya tidak bisa ngopi sebab urusan di Stasiun Gubeng belum selesai. Namun yang menarik yakni beliau mengirimkan SMS Pak Budi Darma: (DARI PROF BD, DIKIRIM 17 APRIL, 1955: Kalau kebetulan ketemu lagi dg teman2 dari komunitas, tolong sampaikan salam saya.) Sungguh, salam yang cukup mendebarkan. Serupa salam dari seorang gadis cantik, hehehe...maklum sedang jomblo (sedikit promosi tak apalah). Semoga suatu ketika, Pak Budi Darma bisa berkunjung ke sanggar KAJ dan kita membuat diskusi buku ataupun berbincang tentang sastra. Terimakasih Pak Budi Darma, salamnya sudah saya terima.***

Thursday 23 April 2015

Identitas Sosial dan Gaya Hidup Anggota Komunitas Molor

Oleh Akhmad Fatoni

Ketua Molor: G-Bun dan sepeda juaranya.
Mojosari walaupun hanya sebuah kota kecamatan di Kabupaten Mojokerto, akan tetapi kota ini masuk dalam Jalan Nasional Rute 24 yang menghubungkan Kota Mojokerto dengan Kecamatan Gempol, Pasuruan. Mojosari terletak 15 km utara Pacet dan 18 km sebelah timur Kota Mojokerto. Selain itu, Mojosari merupakan ibukota Kabupaten Mojokerto. Hal itulah yang akhirnya membuat beberapa gedung pemerintahan dipindah dari Kota Mojokerto ke Mojosari [Wikipedia]. Oleh sebab itulah, beberapa aktivitas pun terjadi di jantung kedua Mojokerto ini. Mulai dari urusan pemerintah, perdagangan, hingga komunitas-komunitas. Dan salah satu komunitas yang akan diulas dalam tulisan ini yakni komunitas Molor.

Komunitas Molor merupakan komunitas sepeda yang anggotanya terdiri dari anak-anak muda di daerah Mojosari dan sekitarnya. Namun untuk basecamp bermarkas di bengkel steel pelek di Jalan Airlangga Kauman-Mojosari (utaranya rumah sakit Kartini). Nama Molor sendiri merupakan kepanjangan dari Mojosari Low Rider. Komunitas ini berdiri sejak tahun 2010, didirikan oleh Rudi Putra “G-Bun” Budi Sartika. Molor terbentuk karena dua alasan, yakni pertama, sebagai bentuk support kepada kelompok musik SID, karena personil SID juga memakai sepeda Low Rider (Banly). Kedua, karena fanatik dengan sepeda antik.

Komunitas Molor: Saat menonton konser SID
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tulisan ini akan menjadikan Komunitas Molor sebagai objek material, sedangkan objek formalnya yakni identitas dan gaya hidup anggotanya. Lantas untuk apa tulisan ini dibuat? Tentu karena kelompok kecil memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat dan juga perilaku sehari-hari tiap individu, sehingga akan diketahui sampai sejauh mana dinamika masyarakat yang bersangkutan (Soekanto, 2005). Dan dalam konteks ini yakni dinamika masyarakat Mojosari dan sekitarnya.

Identitas Sosial
Pengertian identitas yang dimaksud di sini yakni identitas yang terbentuk dari kacamata sosial. Sedangkan Identitas sosial menurut Barker (2005) ialah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal yang dimiliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan yang membedakannya dengan orang lain. Maka dari itu, bila berbicara identitas pasti hal itu berkaitan dengan interaksi, entah itu personal dengan personal atau suatu kelompok.

Dalam tulisan ini, akan menyoroti bagaimana Komunitas Molor membentuk identitas sosialnya. Brown (2004) berpendapat bahwa identitas sosial itu bisa terbentuk dari bagaimana suatu kelompok membentuk dengan baik sehingga bisa lebih baik dari kelompok yang lain. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan salah satu anggota, ternyata Komunitas Molor selain sebagai wadah untuk menyalurkan hobi dan mendukung kolompok musik SID, mereka juga menyelenggarakan acara-acara sosial.

Acara-acara itu meliputi tanam pohon yang dilaksanakan di Mojokerto bersama komunitas Mojopahit Low Rider; Peringatan hari HIV dengan cara membagi-bagi balon di jalanan kota Mojokerto (sekitar alun-alun). Pada setiap kegiatan yang dilakukan dana diambil dari uang kas yang setiap dikumpulkan setiap kali pertemuan, sebesar Rp5.000. Acara tersebut mereka lakukan dengan bersepeda (gowes), dan pada saat gowes ini karena memang jalannya sepeda tidak bisa cepat menimbulkan daya tarik sendiri pada masyarakat sekitar. Bahkan terkadang ada warga yang meminta mereka berhenti sejenak untuk sekadar foto bersama.

Foto Bersama: Komunitas Molor seusai acara gowes.

Dan pada saat acara peringatan hari HIV, mereka membagikan balon tersebut tentu bukan tanpa maksud. Balon yang mereka bagikan adalah sebuah simbol untuk menggantikan alat kontrasepsi (baca: kondom) yang memang bentuknya mirip dengan balon. Selain acara sosial tersebut, Komunitas Kolor juga melakukan pengenalan budaya Mojokerto melalui acara silaturrahim antarkomunitas pecinta sepeda antic (Low Rider). Acara tersebut dihadiri oleh komunitas Low Rider Alarm Malang, Slow (Surabaya Low Rider), SKK (Sidoarjo Kustom Kruiser), Independen Sidoarjo, Lovy Sidoarjo, Glowridan (Gerombolan Low Rider Krian). Pada acara tersebut mereka gowes bareng untuk mengunjugi situs-situs yan ada di Trowulan.

Tentu hal itu menjadi suatu hal yang rekreatif, sebab di tengah gemuruhnya kendaraan bermotor melintas segerombolan orang yang menaiki sepeda angin. Bahkan kata salah satu anggota Molor menjelaskan masyarakat berbaris rapi di pinggir jalan saat mereka melintas. Meskipun barisan yang terbentuk itu tidak terencana, namun dari begitu banyaknya gowes akhirnya orang-orang yang saat itu beraktivitas di pinggir jalan pada menghentikan aktivas. Ada yang yang hanya menonton, ada juga yang sambil memotret.

Gaya Hidup
Logo Komunitas: Eksistensi Molor dalam event Low Rider di Surabaya
Sebuah komunitas pada mulanya terbentuk karena memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama, namun dari aktivitas komunitas itu bisa kita amati tentang kekhasan yang mereka dimiliki. Dan hal itulah yang akhirnya mencari style yang melekat dengan komunitas tersebut. Menurut Sobel gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas dan karena kekhasan itu suatu gaya hidup dapat dikenali (Ibrahim, 2009).

Pada Komunitas Molor ini, seperti sejarah berdirinya selain sebagai fanatisme terhadap SID juga sebagai hobi dengan sepeda antik. Pada tujuan yang kedua inilah peran konsumsi dimainkan. Para anggota Molor yang setiap malam Minggu bertemu ini, tidak segan-segan menghabiskan uang mereka untuk memodifikasi sepeda anginnya tersebut. Menurut Miftah, salah satu anggota Molor biaya modifikasi bisa mencapai sekitar Rp1.500.000-Rp3.000.000.

Kenapa mereka sampai berani mengeluarkan uang begitu banyak hanya untuk memodifikasi sepeda angin? Tentu pertanyaan itu akan kerap dilontarkan bagi orang-orang yang tidak sedang gila (baca: hobi) dengan benda antik tersebut. Namun bagi yang sudah terlanjur hobi, hal itu tidak menjadi kendala, bahkan semakin bagus sepeda yang mereka miliki maka akan semakin naik prestise-nya di mata anggota yang lain. Dan akan merasa lebih bahagia bila orang-orang mengerubungi dan berfoto di sepeda anginnya. Sebab wilayah eksperimentasi gaya hidup menurut Zablocki dan Kanter (dalam Ibrahim 2009) tidak lagi berjalan koheren yang membuat konsumsi lebih besar daripada produksi.

Terus Berkreasi: Komunitas Molor saat ikut event di Gedung Pahlawan Surabaya.
Dan di komunitas Molor, G-Bun sang ketua itulah satu-satunya yang sangat “gila” memodifikasi. Dan kegilaan itu menjadi berbuah tatkala sepedanya memenangi juara dalam event yang diselenggarakan di Lapangan Parkir Ramayana Sidoarjo. Jadi, bisa disimpulkan bahwa gaya hidup dan simbol-simbol dari Komunitas Molor tersebut telah menciptakan perbedaan estetik yang “Secara sosiologis, memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka.”***



Narasumber: Nur Miftakhus (anggota Komunitas Molor)

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Brewer, M.B. 2004. Taking the Social origins of Human Nature Seriously: Toward a more  Imperalist Social Psychology. Personality and social psychology review, 8, 107–113.
Ibrahim, Idi Subandy. 2009. Lifestyle Sebuah Pengantar Komprehensif David Chaney. Yogyakarta: Jalasutra.
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Weton

Oleh Akhmad Fatoni

Pada suatu malam, saya sempat mengobrol dengan teman saya di sanggar KAJ. Obrolan itu saya rasa menarik dan akhirnya saya memilih menuliskannya agar bisa bermanfaat buat orang banyak. Semoga. Obrolan itu berbicara tentang salah satu kearifan lokal. Weton.Ya, di Jawa ada tradisi weton atau lebih dikenal dengan pasaran Jawa. Namun hal itu kian tertepiskan, sehingga generasi saat ini sudah luput dengan weton. Dan hal itu membuat generasi saat ini tidak bisa menghitung dino pasaran (pasaran Jawa). Di mana dino pasaran bagi orang Jawa merupakan pusat dari poros kehidupan. Ya, itulah yang membuat orang Jawa eleng lan waspodo.

Namun karena generasi muda Jawa saat ini sudah tidak tahu weton, otomatis sudah tidak memperhatikan sakralitas atau rambu-rambu dalam melangkah. Segala hal yang dilakukan hanya bertumpu pada logika. Padahal dalam dunia ini ada yang namanya mikrokosmos dan makrokosmos. Di mana dalam makrokosmos itu terdapat beragam mikrokosmos yang saling berkaitan dan bekerjasama satu sama lain. Lha, weton adalah salah satu mikrokosmos tersebut.

Lantas apa hubungannya dengan insiden kecil saya kemarin? Titik temunya yakni weton kecelakaan yang terjadi kemarin. Bila dilihat dari weton (dino pasaran), saya jatuh kemarin pada hari Selasa Kliwon (pasaran dalam Jawa selain Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage). Pasaran itu dikait-ikutkan dengan dino (hari dalam seminggu), sehingga bila digabung kedua unsur tersebut disebut dino pasaran, semisal Senin Pahing, Selasa Pon, Rabu Wage, Kamis Kliwon, atau Jumat Legi. Dino pasaran hanya terjadi sekali dalam sebulan, misal Senin Pahing, maka dalam bulan Maret ini hanya ada 1 Senin Pahing. Hal itu dalam Jawa disebut dengan pendhak.

Obrolan dengan kawan saya tadi, bermula dari ingatan atas pesan dari ibunya. Di mana ibunya mengingatkan weton kali pertama dia kecelakaan. Dan ketika kawan saya itu kecelakaan lagi, ternyata ditelisik juga terjadi di weton yang sama. Hal itu, tidak diberitahukan si ibu kepada kawan saya itu. Entah dengan alasan apa. Namun saya mengira, pemutusan itulah yang membuat tradisi Jawa saat ini tidak berlanjut ke generasi muda saat ini. Namun kawan saya itu akhirnya diberitahu ketika terjadi kecelakaan untuk yang kali ketiga. Sang ibu lalu berpesan, bila ia keluar atau ke mana-mana di hari weton di mana ia 3 kali kecelakaan, harus berhati-hati dan terlebih ibunya melarang bepergian jika keperluan tersebut bisa ditunda.

Yah, semoga saja sedikit ulasan saya tentang weton di hari naas yang terjadi dalam hidup kita, yang kerap kita acuhkan, di kemudian hari bisa lebih berhati-hati. Dan tentunya membuat kita eleng lan waspodo. ***

Tuesday 21 April 2015

Cara Hemat Hidup di Balikpapan


Oleh: Akhmad Fatoni

Bebas: Penjual memberi keleluasan mengambil sendiri
(foto: Akhmad Fatoni)


Balikpapan merupakan daerah yang memiliki perkembangan yang amat pesat. Bila menengok 10 tahun silam, mungkin masih banyak ditemui pohon-pohon besar (kayu besi: ulin) menjulang tinggi. Akan tetapi, sekarang akan ditemui gedung-gedung tinggi nan megah. Mulai dari mall, hotel, hingga apartemen mewah. Balikpapan kini menjadi inceran orang-orang ibukota untuk mengembangkan usaha. Tak ayal, jika pembangunan di kota ini sudah hampir sejajar dengan ibukota. 

Kota minyak, begitulah salah satu julukan untuk Balikpapan. Itulah yang menyebabkan Balikpapan menjadi salah satu kota di daerah yang mampu memberi devisa cukup besar untuk negera. Tak heran bila banyak sekali mobil-mobil mewah berseliweran di jalanan kota ini. Namun, berhati-hatilah membelanjakan uang, sebab segala kebutuhan di kota ini di atas rata-rata. 

Cara berhemat di sana yakni menanyakan dulu harga sebelum melakukan transaksi jual-beli atau menggunakan sebuah jasa. Salah satu kedan dan warung yang memberi harga murah di Kalimantan Timur ini yakni areal belakang Bank BCA, Balikpapan. Di sana berjajar 3 warung. 2 Warung kopi dan 1 warung makan. Warung makannya diapit oleh 2 warung kopi. 

Jalan Blora
Warkop IPI, salah di antara 2 warkop di belakang Bank BCA. Tak ada yang istimewa, sama seperti warung pada umumnya. Terbuat dari petak kecil yang terbuat dari kayu berbalut triplek. Meskipun begitu, sirkulasinya pembeli sangat cepat. 
“Yah, sempat sampai berjubel, bahkan mereka rela menunggu dengan berdiri.” Papar Hendro, pemilik Warkop IPI.
Warkop IPI, buka selama 20 Jam. Mulai pukul 03.00 dini hari, hingga 24.00 WITA. Memang di warung ini tidak menyajikan aneka makanan. Sesuai dengan namanya, warkop. Namun, jika perut keroncongan setidaknya Warung Ipi sudah menyediakan nasi bungkus, atau yang sering disebut nasi kucing. 
“Memang sengaja tidak menyediakan makanan, minuman saja.” Tambah Hendro, ayah 2 orang anak ini. 
Begitulah, Warung IPI ini, itu memang berdasarkan dan filosofi yang diusung, enjoy. Pemilik enjoy, pembeli tentunya juga enjoy. Ke-enjoy-an itu juga didukung dengan menu yang murah. Segala jenis minuman dipukul rata dengan harga 3 ribu rupiah. Hal itulah yang membuat Warkop IPI tidak pernah sepi
.
Warkop Ipi:harga pas, pengunjung puas.

Warung IPI didirikan sejak enam tahun lalu oleh Hendro dan satu rekannya. Segalanya dibagi rata. Hendro berjaga siang sampai malam, sedangkan temannya dari pagi-siang. Hendro memang sengaja memilih malam, biar bisa enjoy. Jika pagi, pasti kewalahan dan harus menambah karyawan lagi. Jika berjaga malam, ia hanya dibantu dengan dua orang karyawan, terkadang juga ditemani istri tercintanya. Meskipun untuk omset yang didapat ketika malam hanya berkisar 500-800 (laba bersih), beda jauh dengan pagi yang bisa sampai 1,5-2 juta. Memang, jika pagi banyak yang berjubel datang ke mari. Mulai dari pelajar, karyawan, dan sales. Terkadang juga datang anggota DPR, sampai walikota. 


Sederhana: Diskusi bisa terjadi di mana saja.

“Meski hanya warung begini, Pak Walikota pernah kemari, ya memang beda sih dengan orang biasa. Ia selalu dibuntuti para pengawal.” Papar Hendro sembari menghisap rokok. 
Begitulah, warung di Jalan Blora, Klandasan Ilir, Balikpapan yang menawarkan menu sederhana namun bisa memuaskan. 

Melawai dan Bukit Tinggi
Satu tempat saja nampaknya tidak cukup.  Sesekali waktu butuh tempat lain untuk merasakan udara segar. 
Tempat lain yang kiranya bisa dirujuk yakni Melawai dan Bukit Tinggi. Kawasan melawai ini akan menjadi jujukan para muda-mudi. Entah hanya untuk nongkrong atau kumpul dengan komunitasnya. 
Kawasan ini akan mencapai puncak keramaian ketika akhir pekan. Ketika memilih tempat ini untuk menikmati akhir pekan, jangan khawatir garing. Sebab di sana suah banyak para pedagang yang menjual aneka makanan dan minuman yang harganya masih bisa dikompromikan.*** 









Monday 20 April 2015

Kota Minyak yang Terus Berkembang



Oleh: Akhmad Fatoni

Ikon: Tugu Kilang Minyak di Balikpapan


Apa kabar pembaca setia Konsultan Menulis? Semoga semua dalam kondisi sehat dan berbahagia. Alhamdulilah, saya juga dalam keadaan yang sehat dan berbahagia. Maka dari itu, dalam tulisan kali ini saya mau berbagi kebahagian itu kepada Anda. Tulisan ini merupakan cacatan perjalanan saya pekan lalu. Perjalanan yang membuat saya bisa menginjakkan kaki kali pertama di kota minyak, Balikpapan.



Balikpapan, secara geografis terletak di garis katulistiwa. Hal itu yang membuat daerah ini menjadi istimewa, tidak mengenal musim. Cuaca panas terik, bisa turun hujan. Saya sempat tidak percaya, tapi itu benar-benar terjadi. Mau tidak mau, saya harus segera berteduh agar tidak basah kuyup. Kejadian unik itu, ketika saya sedang melakukan perjalanan untuk menengok penangkaran buaya.

Saat asik-asiknya memotret buaya, tiba-tiba hujan turun. Padahal, saya saat itu sedang mandi keringat. Bisa membayangkan bukan bagaimana panasnya cuaca saat itu? Percaya ndak percaya. Akhirnya, saya pun berlari mencari tempat berteduh. Di kala berteduh itu pulalah, saya menemukan penyewaan buaya untuk dibuat kenang-kenangan. Akhirnya, saya pun mejeng bersama si anak buaya itu.  Mungkin karena terlalu asik dan juga panik, sehingga saya memegang si anak buaya itu terlalu kencang. Akibatnya, ia menggelepar ingin melepaskan diri dari cengkraman tangan saya. Wah, betapa paniknya diri ini. Saya membayangkan buaya yang bisa memakan manusia hidup-hidup kini mau berontak di tangan saya. Untungnya saja, si anak buaya itu mulutnya sudah diikat. Rasa was-was pun sedikit berkurang, tapi tetap saja diri ini senam jantung dibuatnya.


Melihat kepanikan saya itu, tiba-tiba si pawang buaya datang, “Ndak usah kenceng-kenceng Pak kalau memegang. Santai saja!”Tuturnya, agak sedikit kesal. Sebab mata pencariannya saya cengkeram sampai tidak bernafas. Lah, benar ternyata si buaya tidak bergerak ketika dipegang penuh perasaan.


Kejadian itu, tidak berlalu begitu saja dalam benak saya. Entah kenapa? Bila sudah seperti itu, maka saya harus menyelesaikannya. Mungkin itulah salah satu penyebabnya kenapa saya suka mengamati hal-hal kecil.


Buaya, yang notabene seorang binatang, jika disikapi atau diperlakukan dengan cara kasar. Ia pun berbalik, membalas dengan cara kasar. Makanya, sering kali kita mendengar. Kekerasan tidak bisa diatasi atau diselesaikan dengan kekerasan. Itulah, filosofi dari sikap buaya tadi. Kita bisa mempelajari dan menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mari berperilaku lemah lembut. Saya yakin, tiada orang yang akan berbuat kasar. Jika ada mungkin itu bisa dihitung dengan jari.

***

Selain fenomena cuaca yang cukup mencuri perhatian, ada juga beberapa hal yang membuat saya kagum dan tercenung. Konon, 10 tahun yang lalu kota ini masih berupa kota kecil. Selebihnya, hanya hutan dengan pohon besi (Ulin) yang menjulan tinggi. Pohon yang bisa bertahan hidup ratusan tahun lamanya. Jika di Jawa, mungkin itu bisa dipadupadankan dengan pohon Jati. Sama-sama mahalnya. Kayu Ulin itu pulalah, yang dulu digunakan menjadi rumah adat orang sana. Sebab, kayu ini terkenal kuat dan tidak mudah dimakan Totor.



Pasar Terapung: Pasar Tradisional di Balikpapan
Meskipun kota ini terus berkembang, tapi tetap saja masih ada bangunan-bangunan adat yang dipertahankan (baca: rumah kayu). Sehingga masih bisa ditemukan tradisi lama yang melekat di Balikpapan.
Hal lain, yang membuat saya terkesima yakni tentang para pengendara. Ini yang mungkin jarang kita temui. Ketika beberapa hari saya di sana memang sempat kaget. Betapa tidak, semua pengendara di sana amat santun. Saya jadi teringat kerapian lalu lintas di Barat. Meskipun saya belum pernah keluar negeri sih, setidaknya kebiasaan itu bisa dinikmati dari film-film Hollywood. Namun saya tidak sedang menonton film, saya melihatnya. Rapi dan teratur. Tidak ada emosi. Menakjubkan.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan bila Anda belum pernah ke mari, yakni berhati-hatilah dalam berbelanja. Sebab di sini harganya amat mahal. Jangan sampai Anda membeli sesuatu langsung tanpa bertanya harga terlebih dahulu, bisa-bisa Anda kesal dikarenakan harga yang teramat tinggi. Ini saran dari saya, bila Anda di sana. Maka lebih enaknya Anda ke kedai cepat saji seperti KFC, McD, dll. Sebab itu lebih pasti, Anda bisa tahu harga barang atau sesuatu yang Anda beli. Tanpa harus merasakan kecewa di belakang. Yah, itu sedikit berita bahagia yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa bermanfaat. Amin.

Mojokerto, 22 Juni 2013


Masalah


Oleh: Akhmad Fatoni
 (Dimuat di Harian Radar Mojokerto)


Ilustrasi Karya Dewi Nur Aprilia



Saya dikirimi seorang teman sebuah pesan. Saya menduga, kalau ia membaca tulisan saya yang menyoal kemungkinan, Minggu lalu. Pesan itu berisi tentang kemungkinan sampai kapan ia bertahan di tempat yang ditumpangi untuk memenuhi segala kebutuhannya? Saya tertawa sendiri membaca pesan itu. Mungkin ia khawatir kalau suatu ketika didampar seperti rekan-rekannya yang lain.
Sebetulnya, pertanyaan itu tak perlu saya jawab. Tapi ya seperti biasa, saya pasti menyambar dengan petuah ini dan itu. Sebelumnya, ia sudah sering bercerita tentang kondisi tubuhnya yang lemah, membuat ia sering sakit-sakitan. Mungkin hal itulah yang mengakibatkan orang tuanya mendoktrin, bahwa ia hanya bisa menempati posisinya saat ini.
Begitulah kiranya hidup ini, tidak hanya teman saya itu, semua orang pun akan selalu menghadapi masalah, begitu juga saya. Namun bagaimana masalah itu kita tanggapi untuk dijadikan suatu pemantik agar kita menjadi semakin mawas diri, bukan malah menggerutu sehingga membuat hidup makin menyesakkan.
Bersikap seperti itu memang berat, karena kita dituntut agar bisa menarik sudut pandang subjektif, bukan objektif. Memang, pola pikir dengan pijakan objektif itu digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah (menarik diri dari masalah), sedangkan bila kita pada posisi tertimpa masalah, maka harus bisa menggunakan pola pikir subjektif untuk membawa kita di luar masalah (objektif).
Seharusnya, kita memiliki waktu untuk sejenak keluar dari rutinitas. Tidak perlu waktu yang lama, setidaknya ada waktu 1 jam untuk merenung. Memikirkan apa saja yang kita perbuat (pola pikir subjektif) selama seharian. Selanjutnya, kita analisis berapa prosentase baik dan buruknya (pola pikir objektif), sehingga kita bisa belajar dari apa yang terjadi. Bila sudah seperti itu, maka kita akan mendapatkan pola pikir bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam kehidupan kita itu berawal dari diri kita sendiri, bukan orang lain.
Namun dari pertanyaan teman saya itu, saya merasa beruntung sebab saya lebih berani menentang keadaan. Keadaan yang mungkin jika tidak ditentang akan menjadikan saya semakin lemah dan takut bertindak. Setidaknya, saya akan menularkan virus “penentang” keadaan untuk masa depan yang lebih baik. Ya, keberanian adalah modal utama, selain kepercayaan. Sebab saya percaya di balik kesulitan ada kemudahan. Setidaknya hal itu telah dibuktikan oleh Chairul Tanjung—pemilik Group TransCorps (TransTV dan Trans7), selain itu juga pemilik Bank Mega—yang berani menjadi “penentang”, sehingga menempatkan dirinya pada posisi pengusaha sukses. Seandainya ia tidak berani menolak uang saku dari orang tuanya saat ia masih kuliah di UI, mungkin saat ini ia tidak akan bisa berada pada jajaran orang terkaya di Indonesia. Untuk mengikuti jejaknya, saya akan mengutip sebuah artikel di harian Batam Pos yang ditulis Hasan Asphani, Kamis, 19 Maret 2009, ia mengutip sebuah laporan yang berisi pendapat Chairul Tanjung:
  1. Kalau mau memulai bisnis mulailah dari yang dekat, lihat dulu apa yang ada di sekitar kita. Think entrepreneurship!
  2. Kalau tidak punya modal, kita harus kreatif. You have to think, you have to create!
  3. Mulailah dari lingkungan yang terkecil dan jangan pilih-pilih. Kesulitan justru membuat kita punya alasan untuk mengubah mind set!
  4. Jangan mau langsung dapat hasil besar. Kalau mau naik ke puncak harus naik tangga dari awal.
  5. Gagal adalah sesuatu yang biasa. Justru karena ada kegagalan kita bertambah pintar.
Setidaknya itulah ilmu yang ingin ditularkan Chairul Tanjung pada kita agar tidak terbelenggu oleh keadaan dan selalu diliputi ketakutan-ketakutan. Sebab Tuhan sudah berkata, bahwa ia tidak akan mengubah nasib hamba-Nya, bila ia sendiri tidak ingin mengubahnya.*



Email: fatoni.akhmad@gmail.com

Teori Strukturalisme Levi Strauss

Oleh: Akhmad Fatoni

Menurut Mukarovsky (dalam Wellek 1970: 275-276), strukturalisme sebagaimana diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori seperti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmiah yang relatif baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas sebagai sudut pandang epistimologi, sebagai sistem tertentu dengan mekanisme antarhubungannya.
Secara etimologis struktur menurut Teeuw (dalam Ratna, 2006: 88) berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Asal-usulnya dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi berbicara mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan.
Menurut Junus (dalam Endraswara, 2004: 49) strukturalis memang sering dipahami sebagai bentuk. Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya. Di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan totalitasnya. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukkan oleh mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem (Ratna, 2006: 91).
Para ahli antropologi melihat adanya hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Baik hubungan yang timbal balik, saling memengaruhi, atau pun hubungan yang lebih menentukan yang bersifat satu arah: kebudayaan memengaruhi bahasa, atau sebaliknya bahasa memengaruhi kebudayaan. (Ahimsa, 2001: 23). Oleh karena itu, pemahaman dasar akan strukturalisme mengacu pada model penelitian linguistik. Karena dalam strukturalisme setiap benda yang berbentuk itu pasti memiliki struktur. Meskipun demikian Levi-Strauss mengingatkan bahwa dalam memahami korelasi antara bahasa dan kebudayaan kita harus berhati-hati dan sangat perlu memperhatikan tingkat atau level untuk mencari korelasi tersebut dan mengorelasikannya. Korelasinya adalah cara suatu masyarakat mengekspreksikan pandangan mereka tentang waktu pada tataran bahasa dan kebudayaan (Ahimsa Putra, 2001: 26).
Namun dalam makalah ini, lebih dikhususkan kepada teori strukturalisme Levi Strauss. Levi Strauss dalam dunia akademik lebih dikenal sebagai ahli antropologi. Akan tetapi, pemikiran-pemikirannya tidak hanya berbicara tentang antropologi. Oleh karena itulah, Levi Strauss mendapatkan tempat terhormat dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan lainnya seperti sastra, filsafat, sosiologi, dan telaah seni (Ahimsa-Putra, 2006: 3).
Selanjutnya, Ahimsa Putra (2001: 31) mengatakan bahwa Strukturalisme Levi-Strauss secara emplisit mengangap teks naratif, seperti misalnya mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah suatu kesatuan yang bermakna (meaningful whole), yang dapat dianggap mewujudkan, mengekspresikan, keadaan pikiran seorang pengarang, seperti halnya kalimat memperlihatkan atau mengejahwantahkan pemikiran seorang pembicara. Makna teks naratif tersebut lebih dari makna yang ditangkap dari kalimat-kalimat tunggal yang membentuk teks tersebut, sebab kita bisa saja memahami makna kalimat-kalimat ini, tetapi tidak dapat menangkap makna keseluruhan teks. Jadi, apa yang diekspresikan atau ditampilkan oleh sebuah teks adalah lebih dari yang diekspresikan oleh kalimat-kalimat yang membentuk teks tersebut. Seperti halnya makna sebuah kalimat adalah lebih dari sekadar makna yang diekspresikan kata-kata yang membantuk kalimat tersebut.
Kedua, teks tersebut memberikan bukti bahwa teks diartikulasikan dari bagian-bagian, sebagaimana halnya kalimat-kalimat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Sebuah teks adalah kumpulan peristiwa-peristiwa atau bagian-bagian yang bersama-sama membentuk sebuah cerita serta menampilkan berbagai tokoh dalam gerak. Strukturalisme Levi-Strauss secara emplisit menganut pandangan bahwa sebuah cerita (naratif), seperti halnya sebuah kalimat, maknanya merupakan sebuah hasil dari suatu proses artikulasi yang seperti itu (Pettit, 1977). Oleh karena itu, Hawkes menyatakan (dalam Sudikan, 2007: 57) bahwa kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak memunyai makna dengan sendirinya, melainkan ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu.
Konsep penting dalam strukturalisme Levi-Strauss yaitu struktur dan transformasi. Dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, struktur lahir, struktur luar (surface structure) dan struktur batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Sedangkan kalau struktrur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari (Ahimsa, 2001: 61-62).
Peneliti memilih struktural Levi-Strauss karena struktural Levi-Strauss berbeda dengan strukturalisme-strukturalisme yang ada. Strukturalisme Levi-Strauss berbeda dengan strukturalisme Emile Durkheim, A.R. Radcliff-Brouwn, Talcott Parsons dan Robert Merton yang dikenal dengan aliran Fungsionalisme, juga berbeda dengan struktural Dependensi atau Ketergantungan struktural, yang lebih kental warna marxisnya dan berbeda pula dengan struktural yang dikembangkan Jean Piaget, meskipun ada beberapa kesamaan (Ahimsa, 2001: 66).
Yang membedakan semua itu karena Struktural Levi-Strauss memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, seperti misalnya dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tunggal, pakaian dan sebagainya. Secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane, 1970: 13-14), atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh kerena itu, terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut. Adanya keterulangan dan kekertataan ini peneliti atau pengamat budaya melakukan abstraksi atas gejala-gejala dan merumuskan aturan-aturan abstrak di baliknya, yang disebut sebagai bahasa atau kode (code). Kode di sini diartikan sebagai semua jenis sistem komunikasi yang dimanfaatkan secara sosial, oleh banyak orang (Lane, 1970:14, dalam Ahimsa-Putra, 2001).
Kedua, para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis-sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau ‘menempelkan’ suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Kemampuan dasar ini (inherent capasity) ini berdesain sedemikian rupa sehingga berbagai macam kemungkinan penstrukturan tidak lantas menjadi tanpa batas (Lane, 1970:4, dalam Ahimsa-Putra, 2001). Gejala dipandang memiliki struktur sendiri-sendiri, yang disebut sebagai strukture, struktur dalam, yang merupakan struktur dari struktur permukaan, atau struktur dari struktur. Struktur permukaan mungkin disadari oleh pelakunya tetapi struktur dalam berada dalam tatanan nirsadar, seperti yang ada pada bahasa. Jadi struktur ini bukanlah apa yang kita lihat dan dengar dalam kenyataan, akan tetapi struktur tersebut dapat kita ketahui, kita abstraksikan, dari berbagai gejala yang nyata (Lane, 1970: 50, dalam Ahimsa-Putra, 2001).
Ketiga, mengikuti pandangan dari Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu. Secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Sehingga dalam menelaah fenomena harus mengetahui terlebih dahulu relasi sinkronis dulu baru diakronisnya. Dan tidak mengaju pada hubungan sebab-akibat. Karena sebab-akibat merupakan relasi diakronis, melainkan mengacu pada hukum-hukum transformasi. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi itu dapat dijelaskan dalam membandingkan pola-pola relasi yang ada pada gejala-gejala yang terpisah dalam ruang dan waktu, misalnya kita akan menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan pada konfigurasi struktural. Dan dalam strukturalis hukum transformasi dianggap sebagai alih-rupa (transformasi) dari konfigurasi struktural yang lain. Hasil pengamatan yang dilakukan berkali-kali kemudian akan sampai pada kesimpulan bahwa suatu struktur tertentu selalu beralih rupa dengan cara tertentu (Ahimsa-Putra, 2001).
Keempat, relasi-relasi yang berada dalam struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary apposition) yang paling tidak punya dua pengertian. Pertama, oposisi binair yang bersifat ekslusif seperti misalnya pada ‘p’ dan ‘q’ (bukan ‘p’). Hak ini misalnya pada kategori menikah dan tidak menikah. Kedua, oposisi binair yang tidak ekslusif, yang kita temukan dalam berbagai kebudayan misalnya seperti oposisi, air-api, gagak-elang, siang-malam, matahari-rembulan dan sebagainya (Ahimsa, 2001: 67-70).
Keempat asumsi dasar itu, telah ditetapkan Levi-Straus dalam tetraloginya tentang orang Indian di benua Amerika. Lebih lanjut dijelaskan orang Indian hidupnya sederhana, yang bisa dikatakan pada dasar peradapan manusia. Logika itu pada dasarnya tidak berbeda dengan orang-orang “modern” yang hidup di kota-kota besar seperti New York, Paris, Amsterdam atau London, yang merasa dirinya sebagai orang yang beradap. Dari penelitian itulah ditentukan sintesa cerita aneh, unik, menyesakkan, dan mencengangkan, yang masih hidup maupun telah mati, yang berasal dari orang-orang Indian tersebut. Yang hal itu akhirnya disebut oleh Levi-Strauss dengan logika dari the science of the concrete atau totemisme (Ahimsa, 2001: 71).
Berdasarkan atas tersebut, Ahimsa-Putra (2006: 93) menyatakan bahwa cara kerja (analisis) teori strukturalisme Levi Strauss meliputi: pertama, mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, sehingga unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dikombinasikan untuk menentukan makna. Kedua, mitos dipandang sebagai bahasa, akan tetapi tidak semua bisa diterjemahkan sebagai bahasa hanya ciri-ciri mitos yang sesuai dengan kaidah bahasa saja. Ketiga, ciri-ciri mitos tersebut berada pada tingkatan di atas bahasa, karena sifatnya lebih kompleks, rumit daripada cirri-ciri bahasa ataupun ciri yang ada dalam suatu kebahasaan.
Hal itulah akhirnya ang membuat gejala bahasa dalam kacamata Levi Strauss berbeda dengan bahasa dalam kacamata para linguis. Perbedaan tersebut terletak pada cara analisis Levi Stauss, yakni menganalisis unsur terkecil dari bahasa mitos, mytheme. Secara terperinci susunannya yakni dimulai dari mencari mytheme (miteme), lalu menyusunnya secara sintagmatis dan paradigmatic atau yang sering disebut sebagai oposisi binar (binary opposition) (Ahimsa-Putra, 2006: 95-96).
Setelah mitos tersebut sudah disusun dan membentuk oposisi binner, maka peneliti baru menerjemahkan dari susunan mitos tersebut untuk diketahui maknanya. Susunan tersebut, telah membentuk makna baru yang oleh Levi Strauss disebut dengan korpus mitos. Pemaknaan atas korpus mitos itulah yang merupakan titik akhir dari cara kerja teori strukturalisme Levi Strauss. Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori Strukturalisme Levi Strauss merupakan pemaknaan atas beberapa mitos yang saling berhubungan.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Henddy Shri. 2001. Struktural Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra.Yogyakarta: Galang Press
Endraswara, Suwardi. 2004. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi Model Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Ratna, Nyoman Kunta. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
__________________. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif (edisi revisi). Jogjakarta: Pustaka Pelajar.