Thursday 23 April 2015

Identitas Sosial dan Gaya Hidup Anggota Komunitas Molor

Oleh Akhmad Fatoni

Ketua Molor: G-Bun dan sepeda juaranya.
Mojosari walaupun hanya sebuah kota kecamatan di Kabupaten Mojokerto, akan tetapi kota ini masuk dalam Jalan Nasional Rute 24 yang menghubungkan Kota Mojokerto dengan Kecamatan Gempol, Pasuruan. Mojosari terletak 15 km utara Pacet dan 18 km sebelah timur Kota Mojokerto. Selain itu, Mojosari merupakan ibukota Kabupaten Mojokerto. Hal itulah yang akhirnya membuat beberapa gedung pemerintahan dipindah dari Kota Mojokerto ke Mojosari [Wikipedia]. Oleh sebab itulah, beberapa aktivitas pun terjadi di jantung kedua Mojokerto ini. Mulai dari urusan pemerintah, perdagangan, hingga komunitas-komunitas. Dan salah satu komunitas yang akan diulas dalam tulisan ini yakni komunitas Molor.

Komunitas Molor merupakan komunitas sepeda yang anggotanya terdiri dari anak-anak muda di daerah Mojosari dan sekitarnya. Namun untuk basecamp bermarkas di bengkel steel pelek di Jalan Airlangga Kauman-Mojosari (utaranya rumah sakit Kartini). Nama Molor sendiri merupakan kepanjangan dari Mojosari Low Rider. Komunitas ini berdiri sejak tahun 2010, didirikan oleh Rudi Putra “G-Bun” Budi Sartika. Molor terbentuk karena dua alasan, yakni pertama, sebagai bentuk support kepada kelompok musik SID, karena personil SID juga memakai sepeda Low Rider (Banly). Kedua, karena fanatik dengan sepeda antik.

Komunitas Molor: Saat menonton konser SID
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tulisan ini akan menjadikan Komunitas Molor sebagai objek material, sedangkan objek formalnya yakni identitas dan gaya hidup anggotanya. Lantas untuk apa tulisan ini dibuat? Tentu karena kelompok kecil memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat dan juga perilaku sehari-hari tiap individu, sehingga akan diketahui sampai sejauh mana dinamika masyarakat yang bersangkutan (Soekanto, 2005). Dan dalam konteks ini yakni dinamika masyarakat Mojosari dan sekitarnya.

Identitas Sosial
Pengertian identitas yang dimaksud di sini yakni identitas yang terbentuk dari kacamata sosial. Sedangkan Identitas sosial menurut Barker (2005) ialah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal yang dimiliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan yang membedakannya dengan orang lain. Maka dari itu, bila berbicara identitas pasti hal itu berkaitan dengan interaksi, entah itu personal dengan personal atau suatu kelompok.

Dalam tulisan ini, akan menyoroti bagaimana Komunitas Molor membentuk identitas sosialnya. Brown (2004) berpendapat bahwa identitas sosial itu bisa terbentuk dari bagaimana suatu kelompok membentuk dengan baik sehingga bisa lebih baik dari kelompok yang lain. Berdasarkan dari hasil wawancara dengan salah satu anggota, ternyata Komunitas Molor selain sebagai wadah untuk menyalurkan hobi dan mendukung kolompok musik SID, mereka juga menyelenggarakan acara-acara sosial.

Acara-acara itu meliputi tanam pohon yang dilaksanakan di Mojokerto bersama komunitas Mojopahit Low Rider; Peringatan hari HIV dengan cara membagi-bagi balon di jalanan kota Mojokerto (sekitar alun-alun). Pada setiap kegiatan yang dilakukan dana diambil dari uang kas yang setiap dikumpulkan setiap kali pertemuan, sebesar Rp5.000. Acara tersebut mereka lakukan dengan bersepeda (gowes), dan pada saat gowes ini karena memang jalannya sepeda tidak bisa cepat menimbulkan daya tarik sendiri pada masyarakat sekitar. Bahkan terkadang ada warga yang meminta mereka berhenti sejenak untuk sekadar foto bersama.

Foto Bersama: Komunitas Molor seusai acara gowes.

Dan pada saat acara peringatan hari HIV, mereka membagikan balon tersebut tentu bukan tanpa maksud. Balon yang mereka bagikan adalah sebuah simbol untuk menggantikan alat kontrasepsi (baca: kondom) yang memang bentuknya mirip dengan balon. Selain acara sosial tersebut, Komunitas Kolor juga melakukan pengenalan budaya Mojokerto melalui acara silaturrahim antarkomunitas pecinta sepeda antic (Low Rider). Acara tersebut dihadiri oleh komunitas Low Rider Alarm Malang, Slow (Surabaya Low Rider), SKK (Sidoarjo Kustom Kruiser), Independen Sidoarjo, Lovy Sidoarjo, Glowridan (Gerombolan Low Rider Krian). Pada acara tersebut mereka gowes bareng untuk mengunjugi situs-situs yan ada di Trowulan.

Tentu hal itu menjadi suatu hal yang rekreatif, sebab di tengah gemuruhnya kendaraan bermotor melintas segerombolan orang yang menaiki sepeda angin. Bahkan kata salah satu anggota Molor menjelaskan masyarakat berbaris rapi di pinggir jalan saat mereka melintas. Meskipun barisan yang terbentuk itu tidak terencana, namun dari begitu banyaknya gowes akhirnya orang-orang yang saat itu beraktivitas di pinggir jalan pada menghentikan aktivas. Ada yang yang hanya menonton, ada juga yang sambil memotret.

Gaya Hidup
Logo Komunitas: Eksistensi Molor dalam event Low Rider di Surabaya
Sebuah komunitas pada mulanya terbentuk karena memiliki keinginan dan kebutuhan yang sama, namun dari aktivitas komunitas itu bisa kita amati tentang kekhasan yang mereka dimiliki. Dan hal itulah yang akhirnya mencari style yang melekat dengan komunitas tersebut. Menurut Sobel gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas dan karena kekhasan itu suatu gaya hidup dapat dikenali (Ibrahim, 2009).

Pada Komunitas Molor ini, seperti sejarah berdirinya selain sebagai fanatisme terhadap SID juga sebagai hobi dengan sepeda antik. Pada tujuan yang kedua inilah peran konsumsi dimainkan. Para anggota Molor yang setiap malam Minggu bertemu ini, tidak segan-segan menghabiskan uang mereka untuk memodifikasi sepeda anginnya tersebut. Menurut Miftah, salah satu anggota Molor biaya modifikasi bisa mencapai sekitar Rp1.500.000-Rp3.000.000.

Kenapa mereka sampai berani mengeluarkan uang begitu banyak hanya untuk memodifikasi sepeda angin? Tentu pertanyaan itu akan kerap dilontarkan bagi orang-orang yang tidak sedang gila (baca: hobi) dengan benda antik tersebut. Namun bagi yang sudah terlanjur hobi, hal itu tidak menjadi kendala, bahkan semakin bagus sepeda yang mereka miliki maka akan semakin naik prestise-nya di mata anggota yang lain. Dan akan merasa lebih bahagia bila orang-orang mengerubungi dan berfoto di sepeda anginnya. Sebab wilayah eksperimentasi gaya hidup menurut Zablocki dan Kanter (dalam Ibrahim 2009) tidak lagi berjalan koheren yang membuat konsumsi lebih besar daripada produksi.

Terus Berkreasi: Komunitas Molor saat ikut event di Gedung Pahlawan Surabaya.
Dan di komunitas Molor, G-Bun sang ketua itulah satu-satunya yang sangat “gila” memodifikasi. Dan kegilaan itu menjadi berbuah tatkala sepedanya memenangi juara dalam event yang diselenggarakan di Lapangan Parkir Ramayana Sidoarjo. Jadi, bisa disimpulkan bahwa gaya hidup dan simbol-simbol dari Komunitas Molor tersebut telah menciptakan perbedaan estetik yang “Secara sosiologis, memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka.”***



Narasumber: Nur Miftakhus (anggota Komunitas Molor)

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Brewer, M.B. 2004. Taking the Social origins of Human Nature Seriously: Toward a more  Imperalist Social Psychology. Personality and social psychology review, 8, 107–113.
Ibrahim, Idi Subandy. 2009. Lifestyle Sebuah Pengantar Komprehensif David Chaney. Yogyakarta: Jalasutra.
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

0 comments:

Post a Comment